25 Mei 2012

Cerita Pasien dan Etika Praktisi Kesehatan


Hari ini, tepat empat hari saya keluar dari rumah sakit, setelah dirawat selama 2 hari 3 malam karena nyeri haid. Mengapa bisa? Ada beberapa faktor mengapa sampai sedemikian parahnya sakit yang saya derita dan dengan adanya akumulasi target pekerjaan yang harus diselesaikan membuat saya semakin stress.

Ada banyak hal yang ingin saya ceritakan tentang perjalanan “tragedi” ini, rasa lucu, tragis dan adegan dramatisir membuat kejadian ini sangat membekas di ingatan saya. Meskipun sebenarnya saya sudah tidak sabar ingin menceritakannya lewat tulisan, namun tetap saja saya harus bersabar karena harus istirahat total dan berusaha untuk mencuri waktu karena laptop kesayangan saya di sita oleh ortu.

Beberapa minggu ini saya memang disibukkan dengan beberapa project pekerjaan yang harus segera saya selesaikan, tenaga memang tidak begitu terkuras, namun pikiran saya yang menjadi tumpuan tekanan. Beberapa hari sebelum tepar, tubuh saya sudah mengeluarkan sinyal tidak sehat plus adanya nyeri haid yang selalu menyapa setiap bulan meskipun haid-nya sendiri tak kunjung keluar.

Saya memang memiliki riwayat nyeri menjelang haid datang, emosi tidak stabil, kontraksi rahim yang menyakitkan, pusing, mual, dan tubuh terasa sangat tidak nyaman. Namun, sesakit apa pun nyeri haid tersebut, saya tidak pernah tepar. Jum’at malam, sekitar pukul 20.30 WIB, tubuh saya mulai merasakan ketidaknyamanan lagi, seperti mau meriang. Ketika itu, haid saya telah keluar meski tidak “banjir” seperti biasanya. Akhirnya saya putuskan untuk meminum obat untuk demam yang dijual bebas dipasaran.

Setelah minum obat, saya pun merasa sedikit tenang dan bisa tidur. Pukul 02.30 WIB dini hari, saya terbangun karena ingin BAB, ibu saya pun menemani, karena khawatir dengan kondisi saya. Sesaat setelah di dalam kamar mandi, saya merasa pusing yang teramat sangat dan pandangan mulai gelap, namun panggilan alam –BAB- pun sudah tidak tertahankan lagi (kalau mengingat sesi ini rasanya ingin tertawa terus :D). Akhirnya saya membuka pintu kamar mandi dan memanggil ibu, hingga sedetik kemudian saya tidak sadarkan diri.

Saya tidak begitu ingat apa yang terjadi, beberapa menit kemudian saya sudah berada di atas tempat tidur. Kedua ortu mendampingi, memberikan saya air hangat dan menyelimuti saya dengan minyak kayu putih. Mereka mengatakan kalau wajah saya pucat sekali, bahkan tubuh saya terasa sangat dingin. Selang beberapa saat, rasa kebelet BAB tadi masih ada (tenang, saya pingsan tidak dalam keadaan memalukan seperti yang Anda bayangkan :p) hingga saya nekad untuk ke kamar mandi lagi dan menyelesesaikan hajat panggilan alam yang tertunda.

Panggilan alam pun sukses saya kerjakan, meski kemudian saya kembali lemas dan pandangan kembali gelap. Ortu kembali cemas dan panik, hingga akhirnya saya dibawa ke sebuah rumah sakit. Sesampainya di rumah sakit, perawat yang berjaga memberikan selang oksigen ke dalam hidung saya. Ah, baru pertama kalinya saya merasakan semburan oksigen masuk ke tubuh melalui sebuah selang. Rasanya dingin dan menyegarkan. Alhamdulillah, setelah menghirup oksigen beberapa menit, kondisi saya membaik kembali.

Seorang dokter menghampiri dan mengatakan bahwa nyeri haid terkadang memang dapat membuat seseorang menjadi sangat lemah, bahkan hingga pingsan. Dokter tersebut memberikan semacam obat pain killer untuk meredakan rasa nyeri haid saya, dan memperbolehkan saya untuk pulang. Namun, ortu saya bersikeras agar saya dirawat saja karena mereka khawatir kalau kondisi saya akan memburuk lagi. Akhirnya saya di infus, meskipun tidak ingin, karena saya sangat tidak menyukai jarum, namun demi ortu saya mengalah dan membiarkan jarum itu menusuk lengan saya.

Pukul 04.00 WIB pagi saya menuju ruang pemeriksaan USG, karena dokter khawatir ada masalah dengan rahim saya terkait nyeri haid yang menahun, maka dokter tersebut merujuk dan langsung mengirim saya ke ruang USG. Meski pun dalam keadaan yang kurang fit dan merasakan ketegangan yang luar biasa karena baru pertama kali ini saya akan menjalani pemeriksaan USG, tetapi saya lumayan merasakan ketenangan saat melihat dokter kandungan yang stand by ternyata adalah sosok pria yang tampan (saya ini kelewatan banget ya, koq masih sempat-sempatnya ngelirik dokter cakep, hehehe…).

Berhubung ketika di rumah saya sempat BAB dan buang air kecil, maka kantung kemih saya kosong, sehingga dokter tidak bisa melihat dengan jelas tampilan rahim saya. Saya sendiri tidak tahu apa korelasinya antara kantung kemih dengan pemeriksaan USG. Dokter tersebut mengatakan kalau pemeriksaan USG akan diulang kembali bila kantung kemih saya kembali penuh, maka saya pun menuju ruang inap yang telah disediakan.

Pukul 08.00 WIB, ditemani ibu, saya menuju ke ruang pemeriksaan USG lagi. Dokter tampan yang memeriksa saya tadi juga telah hadir bersama seorang pria yang terlihat seperti asistennya. Saya berbaring di meja periksa dan dokter pun kembali memberikan gel ke atas perut dan rahim saya. Sebuah alat pun berjalan pelan dan layar monitor memperlihatkan kondisi rahim saya. Jujur, saya sangat tegang saat itu, karena saya berharap tidak ada hal-hal mengerikan yang akan terlihat di dalam rahim saya.

Alhamdulillah, menurut dokter, rahim saya baik-baik saja, tidak ada masalah apa pun. Bahkan saluran serviks juga terlihat baik. Lega sekali rasanya mendengar hal baik tersebut, karena dokter khawatir  adanya kista atau hal-hal ganjil yang mengganggu proses haid saya. Pemeriksaan pun selesai, saya turun dari meja periksa dan menuju ke kursi roda. Namun, asisten dokter yang berada di ruang tersebut justru mengatakan hal yang menyakitkan, “Mbak, jangan dilemes-lemesin…”, ucapnya sambil tertawa. Apa???!!! Kalau saja saya tidak dalam keadaan lemah, mungkin sudah saya hardik atau gampar itu orang. Dalam hati saya membatin, “Karena kamu seorang laki-laki makanya mudah mengatakan hal itu, karena kamu tidak pernah merasakan sakitnya nyeri haid setiap bulan!”

Saya memang merasa marah bila ada seorang pria mengatakan hal-hal yang menyepelekan atau menyakitkan tentang haid seorang wanita. Saya mengatakan ini memang masalah gender, karena para pria tidak pernah merasakan bagaimana sulitnya menjadi seorang wanita (haid setiap bulan, mengandung, melahirkan, menyusui) maka dengan mudahnya mereka mengatakan hal-hal seperti itu. Apakah mereka tidak sadar kalau mereka memiliki seorang ibu atau istri atau anak perempuan yang juga mengalami hal yang sama dengan saya? Memang, tidak semua pria akan mengatakan hal menyakitkan seperti itu, namun, hendaknya para pria bisa lebih menghargai wanita dengan tidak mengolok-olok hal yang terkait dengan “tamu bulanan” ini.

Dengan perasaan dongkol, saya kembali ke kamar. Saya tidak ingin mengingat ucapan si pria yang menyebalkan itu, untungnya dokter tampan itu sempat membela saya dengan mengatakan “Dia baru masuk, lagipula obatnya belum bereaksi”, wah, ucapannya itu cukup menghibur saya. Anda yang pernah masuk rumah sakit tentu tahu betapa membosankannya berada di atas tempat tidur dan tidak bisa beraktifitas seperti biasa, dan adanya dokter-dokter yang tampan adalah suatu hiburan tersendiri yang membuat pasien tidak jenuh, hahahaha… :D

Saya ini termasuk pasien yang sangat “hiperaktif”, kalau kata orang Jawa pecicilan/biayaan/ngelitis. Hal itu saya lakukan karena kebosanan dan kejenuhan menjadi pasien, hingga beberapa kejadian lucu dan tragis terjadi. Sabtu pagi, setelah saya menjalani pemeriksaan USG tersebut, saya berniat untuk berganti baju dan membersihkan diri. Ibu yang selalu khawatir pun ikut menemani ke kamar mandi (kenapa ya adegan tragis saya selalu di kamar mandi? :p). Singkat cerita, ketika saya akan melepas lengan baju sebelah kiri, selang infus tersangkut baju hingga akhirnya lepas dari jarumnya. Air infus mengalir dari selang dan darah segar pun mengucur deras dari jarum yang masih menempel di lengan saya.

Ibu yang tidak bisa melihat darah mulai terlihat panik, maka saya pun menyuruh ibu untuk segera keluar dari kamar mandi dan memanggil perawat. Saya yang shock berusaha menenangkan diri sambil membenahi pakaian. Darah semakin banyak menetes di atas lantai kamar mandi, dan saya pun menjadi pusing. Dua orang perawat datang dan segera menghampiri saya, mereka menyiram darah dan membawa saya ke atas tempat tidur. Entah apa rasanya saat itu, yang saya tahu saya menjadi pucat pasi ketika melihat darah masih keluar dari jarum. Perawat pun segera membenahi selang infus dan memperkuatnya di lengan saya dengan beberapa plaster kedokteran.

“Masa’ lihat darah sendiri kamu takut? Kan lagi datang bulan, kenapa takut?” tanya salah seorang perawat. “Mbak, melihat darah haid di atas pembalut kan beda dari darah segar yang mengucur deras dari jarum” jawab saya pendek dengan sedikit rasa kesal. Ibu saya kembali tenang dan mulai mengomelin saya agar tidak pecicilan lagi, saya hanya manggut dan sedikit nyengir.

Minggu sore, ternyata hal seperti itu terjadi lagi. Kondisi yang sudah membaik membuat saya risih ingin membenahi dan membersihkan diri. Saya ke kamar mandi lagi untuk berganti baju dan membersihkan tubuh, kali itu tidak ditemani oleh ibu. Setengah perjalanan, saya melihat darah mulai naik ke atas selang infus, namun saya hiraukan. Setelah selesai dari kamar mandi dan kembali berbaring di tempat tidur, ternyata darah tersebut tidak kembali masuk ke dalam tubuh saya (dari beberapa kali pengalaman masuk rumah sakit, biasanya, darah itu perlahan akan masuk kembali ke tempatnya semula). Ibu kembali panik dan memanggil perawat.

Perawat berusaha mengalirkan darah dengan cara menekan-nekan selang infus, namun tidak berhasil. Akhirnya dia membuka selang infus dan memasukkan sebuah suntik yang berisi cairan putih ke dalam jarum yang ada di tangan saya, dan membuang darah dari selang infus ke sebuah tempat kecil berbentuk seperti mangkuk. “Darahnya sudah beku, tidak bisa mengalir lagi. Apakah mbak mau di infus lagi atau dicabut saja?” tanyanya kepada saya. Tentu saja saya memilih untuk tidak diinfus lagi, hehehe. Ibu pun hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala tanda kesal dan ingin mengomelin saya (lagi). Alhamdulillah selera makan saya tidak begitu buruk selama berada di rumah sakit, hingga kondisi saya cepat membaik dan tidak terlalu membutuhkan bantuan infus. Terlepas dari jarum dan selang infus itu merupakan salah satu keberhasilan dan kesenangan tersendiri bagi saya. Saya bisa bergerak bebas dan tidur dengan nyaman karena tidak “terpaku” lagi pada benda mengerikan itu.

Hari Senin pun tiba, dokter mengatakan akan memberikan izin pulang dengan syarat harus dilakukan beberapa pemeriksaan lagi. Kali ini, pemeriksaan yang dilakukan oleh beberapa dokter sangat tidak nyaman, baik bagi saya maupun bagi ortu. Kami tidak tahu dokter-dokter mana saja yang ikut campur, karena mereka masuk dengan sesuka hatinya dan bertanya-tanya tentang keadaan saya. Saya sendiri bingung, mana dokter yang sesungguhnya merawat saya. Kecuali dokter tampan itu yang memang masih mengontrol keadaan saya. Mungkin karena hari itu adalah hari-nya para dokter atau mahasiswa yang sedang coas, hingga mereka hilir mudik untuk mendapatkan data-data yang mereka butuhkan.

Sebelum pulang, saya diharuskan untuk melakukan pemeriksaan USG sekali lagi. Saya bertanya untuk apa, perawat pun menjawab untuk memastikan kondisi saya kembali sebelum pulang. Ruangan USG yang tidak begitu besar, tiba-tiba menjadi sempit dan sesak karena dimasuki oleh beberapa mahasiswi, pasien, asisten dokter, dan beberapa dokter. Dokter tampan yang sejak awal menangani saya memberikan sebuah map yang berisi data-data saya kepada seorang dokter, melihat dari perawakannya, sepertinya beliau adalah dokter kandungan yang telah senior.

Dokter senior tersebut menanyakan beberapa hal terkait nyeri haid yang saya alami. Kemudian, saya menuju meja periksa (lagi) untuk menjalani pemeriksaan USG. Para mahasiswi itu mulai berdiri mengelilingi saya dan melihat proses pemeriksaan. Saya sendiri merasa jengah dan tidak nyaman dengan keadaan tersebut, aneh saja, saya ini kan pasien bukannya kelinci percobaan untuk bahan materi perkuliahan. Iseng, saya bertanya dengan maksud menyindir kepada dokter senior tersebut, “Lagi mengajar ya dokter?”. “Iya, mereka ini anak-anak saya yang akan meneruskan nanti”, jawabnya pendek. Mungkin karena suasana yang sangat riuh membuat saya dan ibu tidak begitu ngeh dengan keadaan yang bisa dibilang “melecehkan pasien” tersebut.

Mengapa saya berkata demikian? Karena seorang teman mengatakan bahwa (setelah saya menceritakan keadaan di ruang USG yang riuh tersebut) apa yang dilakukan oleh dokter tersebut telah melanggar etika kedokteran. Bagaimana mungkin dia membawa mahasiswanya ke atas meja periksa, sementara dia tidak meminta izin terlebih dahulu kepada pasiennya? Pikiran saya mulai kembali normal, benar apa yang dikatakan oleh teman saya tersebut. Sebagai seorang pasien, saya berhak mendapatkan pelayanan privacy dan berhak untuk menolak bila akan dijadikan sebagai materi perkuliahan. Ah, mengapa pada saat itu saya tidak marah saja ya, bukankah saya merasakan ketidaknyamanan karena dipelototin oleh orang-orang yang tidak saya kenal dan tidak ada kepentingan sama sekali dengan saya?

Hal tersebut menjadi pelajaran yang sangat berharga bagi saya, bahwa sebagai seorang pasien saya memiliki hak-hak untuk melindungi ruangan privacy, bahwa saya juga berhak untuk menentukan apa yang terbaik bagi kondisi saya. Penyesalan memang selalu datang terlambat, namun pengalaman selalu menjadi guru yang sangat bermanfaat.

Begitulah sekelumit kisah saya dalam kefakuman menulis beberapa minggu ini. Saya sangat kangen dengan menulis, tempat dimana jiwa saya berada, meskipun terkadang saya harus mencuri waktu untuk merangkai beberapa kata dan menceritakan apa isi pikiran saya. Semoga tulisan ini tidak terhenti lagi karena kevakuman, semoga masih banyak waktu yang tersedia bagi saya untuk menyapa Anda semua lewat cerita yang lainnya.

Selamat hari Jum’at teman J
Welcome back my world –writing world-


250512

2 komentar:

NF mengatakan...

sekarang udah mendingan kan? semoga cepet sembuh :)

kalo haidnya sakit kata orang bisa jadi gejala kista atau miom, tapi hasil pemeriksaan ga mengarah ke sana ya? hmm.. jadi apa dong penyebab sakit banget saat haid? hmm

Irda Handayani mengatakan...

@NF : Alhamdulillah sudah mendingan mb :)
Itu dia yang membuat saya bingung mb.... :(
Kata orang2 sih, obatnya married, hehehe... :D

Posting Komentar

ShareThis