Hari ini, tepat empat hari saya keluar dari rumah sakit,
setelah dirawat selama 2 hari 3 malam karena nyeri haid. Mengapa bisa? Ada beberapa
faktor mengapa sampai sedemikian parahnya sakit yang saya derita dan dengan
adanya akumulasi target pekerjaan yang harus diselesaikan membuat saya semakin
stress.
Ada banyak hal yang ingin saya ceritakan tentang
perjalanan “tragedi” ini, rasa lucu, tragis dan adegan dramatisir membuat
kejadian ini sangat membekas di ingatan saya. Meskipun sebenarnya saya sudah
tidak sabar ingin menceritakannya lewat tulisan, namun tetap saja saya harus
bersabar karena harus istirahat total dan berusaha untuk mencuri waktu karena
laptop kesayangan saya di sita oleh ortu.
Saya memang memiliki riwayat nyeri menjelang haid datang,
emosi tidak stabil, kontraksi rahim yang menyakitkan, pusing, mual, dan tubuh
terasa sangat tidak nyaman. Namun, sesakit apa pun nyeri haid tersebut, saya
tidak pernah tepar. Jum’at malam, sekitar pukul 20.30 WIB, tubuh saya mulai
merasakan ketidaknyamanan lagi, seperti mau meriang. Ketika itu, haid saya
telah keluar meski tidak “banjir” seperti biasanya. Akhirnya saya putuskan
untuk meminum obat untuk demam yang dijual bebas dipasaran.
Setelah minum obat, saya pun merasa sedikit tenang dan
bisa tidur. Pukul 02.30 WIB dini hari, saya terbangun karena ingin BAB, ibu saya
pun menemani, karena khawatir dengan kondisi saya. Sesaat setelah di dalam
kamar mandi, saya merasa pusing yang teramat sangat dan pandangan mulai gelap,
namun panggilan alam –BAB- pun sudah tidak tertahankan lagi (kalau mengingat
sesi ini rasanya ingin tertawa terus :D). Akhirnya saya membuka pintu kamar
mandi dan memanggil ibu, hingga sedetik kemudian saya tidak sadarkan diri.
Saya tidak begitu ingat apa yang terjadi, beberapa menit
kemudian saya sudah berada di atas tempat tidur. Kedua ortu mendampingi,
memberikan saya air hangat dan menyelimuti saya dengan minyak kayu putih. Mereka
mengatakan kalau wajah saya pucat sekali, bahkan tubuh saya terasa sangat
dingin. Selang beberapa saat, rasa kebelet BAB tadi masih ada (tenang, saya
pingsan tidak dalam keadaan memalukan seperti yang Anda bayangkan :p) hingga
saya nekad untuk ke kamar mandi lagi dan menyelesesaikan hajat panggilan alam
yang tertunda.
Panggilan alam pun sukses saya kerjakan, meski kemudian
saya kembali lemas dan pandangan kembali gelap. Ortu kembali cemas dan panik,
hingga akhirnya saya dibawa ke sebuah rumah sakit. Sesampainya di rumah sakit, perawat
yang berjaga memberikan selang oksigen ke dalam hidung saya. Ah, baru pertama
kalinya saya merasakan semburan oksigen masuk ke tubuh melalui sebuah selang. Rasanya
dingin dan menyegarkan. Alhamdulillah, setelah menghirup oksigen beberapa
menit, kondisi saya membaik kembali.
Seorang dokter menghampiri dan mengatakan bahwa nyeri
haid terkadang memang dapat membuat seseorang menjadi sangat lemah, bahkan
hingga pingsan. Dokter tersebut memberikan semacam obat pain killer untuk meredakan rasa nyeri haid saya, dan
memperbolehkan saya untuk pulang. Namun, ortu saya bersikeras agar saya dirawat
saja karena mereka khawatir kalau kondisi saya akan memburuk lagi. Akhirnya
saya di infus, meskipun tidak ingin, karena saya sangat tidak menyukai jarum,
namun demi ortu saya mengalah dan membiarkan jarum itu menusuk lengan saya.
Pukul 04.00 WIB pagi saya menuju ruang pemeriksaan USG,
karena dokter khawatir ada masalah dengan rahim saya terkait nyeri haid yang
menahun, maka dokter tersebut merujuk dan langsung mengirim saya ke ruang USG. Meski
pun dalam keadaan yang kurang fit dan merasakan ketegangan yang luar biasa
karena baru pertama kali ini saya akan menjalani pemeriksaan USG, tetapi saya
lumayan merasakan ketenangan saat melihat dokter kandungan yang stand by ternyata adalah sosok pria yang
tampan (saya ini kelewatan banget ya, koq masih sempat-sempatnya ngelirik
dokter cakep, hehehe…).
Berhubung ketika di rumah saya sempat BAB dan buang air
kecil, maka kantung kemih saya kosong, sehingga dokter tidak bisa melihat
dengan jelas tampilan rahim saya. Saya sendiri tidak tahu apa korelasinya
antara kantung kemih dengan pemeriksaan USG. Dokter tersebut mengatakan kalau
pemeriksaan USG akan diulang kembali bila kantung kemih saya kembali penuh,
maka saya pun menuju ruang inap yang telah disediakan.
Pukul 08.00 WIB, ditemani ibu, saya menuju ke ruang
pemeriksaan USG lagi. Dokter tampan yang memeriksa saya tadi juga telah hadir
bersama seorang pria yang terlihat seperti asistennya. Saya berbaring di meja
periksa dan dokter pun kembali memberikan gel ke atas perut dan rahim saya. Sebuah
alat pun berjalan pelan dan layar monitor memperlihatkan kondisi rahim saya. Jujur,
saya sangat tegang saat itu, karena saya berharap tidak ada hal-hal mengerikan
yang akan terlihat di dalam rahim saya.
Alhamdulillah, menurut dokter, rahim saya baik-baik saja,
tidak ada masalah apa pun. Bahkan saluran serviks juga terlihat baik. Lega sekali
rasanya mendengar hal baik tersebut, karena dokter khawatir adanya kista atau hal-hal ganjil yang
mengganggu proses haid saya. Pemeriksaan pun selesai, saya turun dari meja
periksa dan menuju ke kursi roda. Namun, asisten dokter yang berada di ruang
tersebut justru mengatakan hal yang menyakitkan, “Mbak, jangan dilemes-lemesin…”, ucapnya sambil
tertawa. Apa???!!! Kalau saja saya tidak dalam keadaan lemah, mungkin sudah
saya hardik atau gampar itu orang. Dalam hati saya membatin, “Karena kamu
seorang laki-laki makanya mudah mengatakan hal itu, karena kamu tidak pernah
merasakan sakitnya nyeri haid setiap bulan!”
Saya memang merasa marah bila ada seorang pria mengatakan
hal-hal yang menyepelekan atau menyakitkan tentang haid seorang wanita. Saya mengatakan
ini memang masalah gender, karena para pria tidak pernah merasakan bagaimana
sulitnya menjadi seorang wanita (haid setiap bulan, mengandung, melahirkan,
menyusui) maka dengan mudahnya mereka mengatakan hal-hal seperti itu. Apakah
mereka tidak sadar kalau mereka memiliki seorang ibu atau istri atau anak
perempuan yang juga mengalami hal yang sama dengan saya? Memang, tidak semua
pria akan mengatakan hal menyakitkan seperti itu, namun, hendaknya para pria
bisa lebih menghargai wanita dengan tidak mengolok-olok hal yang terkait dengan
“tamu bulanan” ini.
Dengan perasaan dongkol, saya kembali ke kamar. Saya tidak
ingin mengingat ucapan si pria yang menyebalkan itu, untungnya dokter tampan
itu sempat membela saya dengan mengatakan “Dia baru masuk, lagipula obatnya
belum bereaksi”, wah, ucapannya itu cukup menghibur saya. Anda yang pernah masuk
rumah sakit tentu tahu betapa membosankannya berada di atas tempat tidur dan
tidak bisa beraktifitas seperti biasa, dan adanya dokter-dokter yang tampan
adalah suatu hiburan tersendiri yang membuat pasien tidak jenuh, hahahaha… :D
Saya ini termasuk pasien yang sangat “hiperaktif”, kalau
kata orang Jawa pecicilan/biayaan/ngelitis.
Hal itu saya lakukan karena kebosanan dan kejenuhan menjadi pasien, hingga
beberapa kejadian lucu dan tragis terjadi. Sabtu pagi, setelah saya menjalani
pemeriksaan USG tersebut, saya berniat untuk berganti baju dan membersihkan
diri. Ibu yang selalu khawatir pun ikut menemani ke kamar mandi (kenapa ya
adegan tragis saya selalu di kamar mandi? :p). Singkat cerita, ketika saya akan
melepas lengan baju sebelah kiri, selang infus tersangkut baju hingga akhirnya
lepas dari jarumnya. Air infus mengalir dari selang dan darah segar pun mengucur
deras dari jarum yang masih menempel di lengan saya.
Ibu yang tidak bisa melihat darah mulai terlihat panik,
maka saya pun menyuruh ibu untuk segera keluar dari kamar mandi dan memanggil
perawat. Saya yang shock berusaha menenangkan diri sambil membenahi pakaian. Darah
semakin banyak menetes di atas lantai kamar mandi, dan saya pun menjadi pusing.
Dua orang perawat datang dan segera menghampiri saya, mereka menyiram darah dan
membawa saya ke atas tempat tidur. Entah apa rasanya saat itu, yang saya tahu
saya menjadi pucat pasi ketika melihat darah masih keluar dari jarum. Perawat pun
segera membenahi selang infus dan memperkuatnya di lengan saya dengan beberapa
plaster kedokteran.
“Masa’ lihat darah sendiri kamu takut? Kan lagi datang
bulan, kenapa takut?” tanya salah seorang perawat. “Mbak, melihat darah haid di
atas pembalut kan beda dari darah segar yang mengucur deras dari jarum” jawab
saya pendek dengan sedikit rasa kesal. Ibu saya kembali tenang dan mulai
mengomelin saya agar tidak pecicilan
lagi, saya hanya manggut dan sedikit nyengir.
Minggu sore, ternyata hal seperti itu terjadi lagi.
Kondisi yang sudah membaik membuat saya risih ingin membenahi dan membersihkan diri.
Saya ke kamar mandi lagi untuk berganti baju dan membersihkan tubuh, kali itu
tidak ditemani oleh ibu. Setengah perjalanan, saya melihat darah mulai naik ke
atas selang infus, namun saya hiraukan. Setelah selesai dari kamar mandi dan
kembali berbaring di tempat tidur, ternyata darah tersebut tidak kembali masuk ke
dalam tubuh saya (dari beberapa kali pengalaman masuk rumah sakit, biasanya, darah
itu perlahan akan masuk kembali ke tempatnya semula). Ibu kembali panik dan
memanggil perawat.
Perawat berusaha mengalirkan darah dengan cara
menekan-nekan selang infus, namun tidak berhasil. Akhirnya dia membuka selang infus
dan memasukkan sebuah suntik yang berisi cairan putih ke dalam jarum yang ada
di tangan saya, dan membuang darah dari selang infus ke sebuah tempat kecil
berbentuk seperti mangkuk. “Darahnya sudah beku, tidak bisa mengalir lagi.
Apakah mbak mau di infus lagi atau dicabut saja?” tanyanya kepada saya. Tentu saja
saya memilih untuk tidak diinfus lagi, hehehe. Ibu pun hanya bisa menggeleng-gelengkan
kepala tanda kesal dan ingin mengomelin saya (lagi). Alhamdulillah selera makan
saya tidak begitu buruk selama berada di rumah sakit, hingga kondisi saya cepat
membaik dan tidak terlalu membutuhkan bantuan infus. Terlepas dari jarum dan
selang infus itu merupakan salah satu keberhasilan dan kesenangan tersendiri
bagi saya. Saya bisa bergerak bebas dan tidur dengan nyaman karena tidak “terpaku”
lagi pada benda mengerikan itu.
Hari Senin pun tiba, dokter mengatakan akan memberikan
izin pulang dengan syarat harus dilakukan beberapa pemeriksaan lagi. Kali ini,
pemeriksaan yang dilakukan oleh beberapa dokter sangat tidak nyaman, baik bagi
saya maupun bagi ortu. Kami tidak tahu dokter-dokter mana saja yang ikut
campur, karena mereka masuk dengan sesuka hatinya dan bertanya-tanya tentang
keadaan saya. Saya sendiri bingung, mana dokter yang sesungguhnya merawat saya.
Kecuali dokter tampan itu yang memang masih mengontrol keadaan saya. Mungkin karena
hari itu adalah hari-nya para dokter atau mahasiswa yang sedang coas, hingga mereka hilir mudik untuk
mendapatkan data-data yang mereka butuhkan.
Sebelum pulang, saya diharuskan untuk melakukan
pemeriksaan USG sekali lagi. Saya bertanya untuk apa, perawat pun menjawab
untuk memastikan kondisi saya kembali sebelum pulang. Ruangan USG yang tidak
begitu besar, tiba-tiba menjadi sempit dan sesak karena dimasuki oleh beberapa
mahasiswi, pasien, asisten dokter, dan beberapa dokter. Dokter tampan yang
sejak awal menangani saya memberikan sebuah map yang berisi data-data saya
kepada seorang dokter, melihat dari perawakannya, sepertinya beliau adalah
dokter kandungan yang telah senior.
Dokter senior tersebut menanyakan beberapa hal terkait
nyeri haid yang saya alami. Kemudian, saya menuju meja periksa (lagi) untuk
menjalani pemeriksaan USG. Para mahasiswi itu mulai berdiri mengelilingi saya
dan melihat proses pemeriksaan. Saya sendiri merasa jengah dan tidak nyaman
dengan keadaan tersebut, aneh saja, saya ini kan pasien bukannya kelinci
percobaan untuk bahan materi perkuliahan. Iseng, saya bertanya dengan maksud
menyindir kepada dokter senior tersebut, “Lagi mengajar ya dokter?”. “Iya,
mereka ini anak-anak saya yang akan meneruskan nanti”, jawabnya pendek. Mungkin
karena suasana yang sangat riuh membuat saya dan ibu tidak begitu ngeh dengan keadaan yang bisa dibilang “melecehkan
pasien” tersebut.
Mengapa saya berkata demikian? Karena seorang teman
mengatakan bahwa (setelah saya menceritakan keadaan di ruang USG yang riuh
tersebut) apa yang dilakukan oleh dokter tersebut telah melanggar etika
kedokteran. Bagaimana mungkin dia membawa mahasiswanya ke atas meja periksa,
sementara dia tidak meminta izin terlebih dahulu kepada pasiennya? Pikiran saya
mulai kembali normal, benar apa yang dikatakan oleh teman saya tersebut. Sebagai
seorang pasien, saya berhak mendapatkan pelayanan privacy dan berhak untuk menolak bila akan dijadikan sebagai materi
perkuliahan. Ah, mengapa pada saat itu saya tidak marah saja ya, bukankah saya
merasakan ketidaknyamanan karena dipelototin oleh orang-orang yang tidak saya
kenal dan tidak ada kepentingan sama sekali dengan saya?
Hal tersebut menjadi pelajaran yang sangat berharga bagi
saya, bahwa sebagai seorang pasien saya memiliki hak-hak untuk melindungi
ruangan privacy, bahwa saya juga
berhak untuk menentukan apa yang terbaik bagi kondisi saya. Penyesalan memang
selalu datang terlambat, namun pengalaman selalu menjadi guru yang sangat
bermanfaat.
Begitulah sekelumit kisah saya dalam kefakuman menulis beberapa
minggu ini. Saya sangat kangen dengan menulis, tempat dimana jiwa saya berada,
meskipun terkadang saya harus mencuri waktu untuk merangkai beberapa kata dan
menceritakan apa isi pikiran saya. Semoga tulisan ini tidak terhenti lagi karena
kevakuman, semoga masih banyak waktu yang tersedia bagi saya untuk menyapa Anda
semua lewat cerita yang lainnya.
Selamat hari Jum’at teman J
Welcome back my world –writing world-
250512
2 komentar:
sekarang udah mendingan kan? semoga cepet sembuh :)
kalo haidnya sakit kata orang bisa jadi gejala kista atau miom, tapi hasil pemeriksaan ga mengarah ke sana ya? hmm.. jadi apa dong penyebab sakit banget saat haid? hmm
@NF : Alhamdulillah sudah mendingan mb :)
Itu dia yang membuat saya bingung mb.... :(
Kata orang2 sih, obatnya married, hehehe... :D
Posting Komentar