31 Oktober 2013

Sekuntum

Kutipan sebuah kisah tentang jodoh yang memberikan hikmah...

Rahasia Allah di Balik Jodoh
Saya tidak tahu apakah saya yang terlalu lugu atau bodoh untuk merasakan perasaan cinta. Saya juga tidak tahu apakah saya harus memilih antara berbakti kepada orang tua atau mengikuti kata hati saya. Dan saat ini, setelah berbagai konflik hati, perasaan dan pemikiran, saya harus bisa berbakti kepada orang tua dan juga mengikuti kata hati saya dalam memilih calon suami.
Berbakti kepada orang tua merupakan salah satu perjuangan dan pengabdian anak kepada orang tuanya, termasuk ketika memutuskan untuk memilih calon pendamping sesuai dengan keinginan mereka. Dijodohkan atau dikenalkan sudah pernah saya rasakan, bukan sekali dua kali, bahkan lebih. Apa yang saya lihat ketika itu adalah bentuk ujian yang diberikan oleh Allah kepada saya, karena saya tahu Allah itu selalu sayang kepada semua hamba-Nya.

Secara global, kita dapat mengetahui apakah seorang laki-laki benar-benar serius untuk menyatakan niatnya berumah tangga bila dia bertemu dengan orang tua si wanita, gentleman istilahnya.

Lelaki yang dijodohkan itu pun telah menunjukkan tindakan gentleman-nya kepada saya dan kepada orang tua. Saya pun percaya. Meskipun begitu, tidak ada jaminan sama sekali apakah saya dan dia benar-benar memiliki tujuan yang sama.

Kenyataannya kami berpisah karena dia menduakan saya, karena rupanya saya hanyalah persinggahan sementaranya, karena saya ternyata tidak sesuai dengan kriteria yang diharapkannya. Asa terputus. Siti Nurbaya ala dunia modern pun kembali menjalani hal yang sama hingga merasa tidak ada lagi tempat untuk perjodohan.

Satu masa telah berlalu, kembali saya membuka lembaran baru dengan seorang laki-laki yang mengaku jatuh cinta pada saya karena shaum yang saya lakukan. Cerita ini terjadi jauh sebelum ada novel-novel atau film-film Islami yang bertema sama, sehingga saya merasa bukan sebagai pencuri drama. Hahaha. Sosok laki-laki itu adalah orang yang baik, dia mengenalkan saya pada orang tua dan adiknya. Alhamdulillah mereka sangat welcome dan berharap agar kami segera menikah.

Suatu ketika, di salah satu malam Ramadhan, bertempat di Masjid Raya, dia menghampiri saya. Dengan gugup dan ekspresi tegang dia mengambil sebuah kotak mungil dari dalam kantong celana dan membukanya di hadapan saya. Subhanallah, ada sebuah cincin mungil di sana. Dia melamar saya di depan Masjid Raya! Suatu kenangan indah yang tidak akan pernah saya lupakan. Tentu saja saya menerimanya dan dia berjanji akan berbicara resmi dengan orang tua saya.

Ternyata, ibu tidak sependapat dengan rencana kami. Kembali saya berpusat pada birrul walidain lalu memutuskan proses dengannya. Demi orang tua dan demi restu yang tidak didapatkan, akhirnya kami berpisah. Cincin mungil yang sempat melingkar manis di jari pun, saya kembalikan padanya. Dia laki-laki paling baik yang pernah saya temui. Saya berharap dia akan bertemu dengan seorang wanita yang lebih baik dari saya. Lagi-lagi saya terjebak dalam kebodohan dan keluguan perasaan. Ya, suatu kenaifan diri tentang apa itu cinta, tentang apa itu rasa penasaran, tentang apa itu pengabdian.

Lanjut cerita, saya kembali menjalin hubungan dengan seorang laki-laki yang tegas, keras, berkarakter dan sangat berkharisma. Dia membentuk saya menjadi seorang wanita yang tangguh, cerdas namun tetap lembut. Sangat banyak ilmu yang saya dapatkan darinya. Dia selalu dapat menempatkan diri menjadi pendamping, sahabat, teman, ataupun guru. Secara lisan dia memang telah melamar saya meski tanpa memberikan tanda mata. Kami sudah mengetahui kalau hubungan ini juga akan sulit mendapatkan restu dari kedua belah pihak orang tua, tapi dia tetap bersikukuh untuk mempertahankan saya. Karenanya, saya pun memintanya untuk segera bertemu orang tua.

Janji dan hanya janji yang selalu diungkapkannya. Kecewa demi kecewa saya dapatkan karena masih menunggu realisasi kebenaran semua perkataannya. Apakah dia sangat takut? Ya, dia mengakuinya. Lantas, apakah harus saya yang bertindak untuk memulai langkah masa depan hubungan ini? Saya tidak tahu karena semakin saya memikirkannya semakin kecewa perasaan saya. Hingga saat ini saya merasakan kejenuhan yang teramat sangat. Bukankah bila dia benar-benar serius untuk membangun rumah tangga maka dia akan melakukan apapun untuk meminta restu dari orang tua saya?

Sementara, saya sendiri sudah tidak sanggup menahan keinginan untuk segera berumah tangga, menjadi istri yang sholehah dan menjadi ibu yang bijaksana. Ah, keinginan untuk menjadi seorang ibu benar-benar mengusik dan mengganggu benak saya.

Pernikahan memang terlihat tidak mudah karena kita hanya bergelut memikirkannya. Namun bila kita berani bertindak dan berani mengambil resiko serta tanggung jawabnya, Insya Allah akan selalu ada jalan atau solusi. Bukankah Allah juga telah menyatakan bahwa pernikahan akan membuka pintu rezeki, jadi mengapa harus takut menikah dalam keadaan tidak mapan? Bukankah menikah adalah tindakan yang mulia daripada terus menjalin hubungan yang tidak tentu arah?

Terlalu banyak pertanyaan yang ada di benak saya. Dan saya tidak pernah mengerti tentang ketakutannya untuk segera menyunting saya. Saya tidak tahu sampai kapan saya bisa bertahan untuk menunggu. Namun sepertinya saya lebih memilih untuk memberikan kesempatan ini kepada orang lain yang memang bisa bertindak berani dan bertanggung jawab. Telah lama saya pasrah dan istikharah, berharap keputusan yang terbaik dari Allah. Semakin saya fokus pada istikharah, semakin kuat pula rasa ragu di dalam hati saya. Apakah ini memang pertanda? Hati saya juga mulai berontak, tidak ingin terpaku pada janji-janji yang entah kapan akan terlaksana.

Bila dulu saya selalu menggunakan perasaan untuk mempertahankan hubungan ini, maka sekarang saya harus menggunakan logika secara penuh demi mewujudkan masa depan yang saya inginkan. Ternyata benar sebuah kalimat yang pernah saya baca, “Bila Anda menjalin hubungan dengan seorang pria, maka gunakanlah perasaan. Tetapi bila Anda ingin menikah, maka gunakanlah logika.”

Jodoh itu salah satu rahasia terbesar dari Allah, tidak ada yang pernah tahu secara pasti siapa jodohnya. Pasrah bukanlah harga mati, sedangkan memilih juga bukan merupakan parameter mutlak dalam menentukan siapa yang pantas menjadi pendamping hidup kita.

Dengan bismillah, saya akan mengambil keputusan kembali dalam kehidupan perjodohan saya. Demi mencapai tujuan pernikahan, saya harus lebih selektif lagi menerima lamaran dari seorang laki-laki. Hanya Allah yang Maha Mengetahui apa-apa yang tersembunyi, baik itu kebaikan ataupun keburukan. Semoga Allah mempermudah jalan saya untuk menikah. Aamiiin Yaa Robbal ’Aalamiin.

1 komentar:

Unknown mengatakan...

Wahhh keren banget bu irda..ayo ir nulis lagi , tahun 2014 na blm ada ni.hehe

Posting Komentar

ShareThis