Semenjak
menikah dan memutuskan untuk mengikuti kemanapun suami melangkah, semenjak
itulah saya mengenal ibu mertua. Umi, begitu kami memanggil sosok ibu yang
bersahaja itu. Kami masih tinggal di PIM (Pondok Mertua Indah), sama seperti kebanyakan
pasangan suami istri lainnya yang belum mampu untuk memiliki rumahnya sendiri.
Terlepas dari mampu atau tidaknya kami untuk memiliki rumah sendiri, kami hanya
ingin menjaga umi yang merupakan seorang janda. Adalah lebih baik bagi kami
untuk tinggal bersama umi dan menjaga beliau daripada memilih untuk mengontrak
rumah dan tinggal terpisah.
Saya yang berasal dari tanah Sumatera (meskipun sebenarnya saya merupakan keturunan asli Jawa) diharuskan untuk segera beradaptasi dengan kehidupan tanah Sunda. Tanah yang berbeda bagi saya, dimana masih banyak terdengar istilah-istilah asing di telinga saya, dimana masih banyak kebiasaan atau tradisi atau kultur atau bahkan jenis makanan yang juga berbeda.
Di
satu sisi saya merasa asing, namun di sisi lainnya saya merasa senang karena
banyak hal yang harus saya pelajari dan saya eksplore. Di sinilah peran serta
suami dan umi, mereka selalu membantu saya untuk belajar mengerti dan memahami
bagaimana kehidupan di tanah Sunda ini. Bahkan, umi selalu berada di samping
sana kemana pun kami pergi hanya untuk menerjemahkan setiap kalimat bahasa
Sunda yang diucapkan oleh orang lain.
Ya,
proses belajar memang terasa selalu menyenangkan bagi saya. Apa pun jenis
ilmunya, apa pun pengalaman serunya, apa pun kenikmatan pengetahuannya, semua
terasa menyenangkan dan membahagiakan. Umi memang sangat membantu saya, dengan
sabar beliau menjelaskan apa yang sedang saya pelajari.
Tidak
jarang kami tertawa bersama akibat kesalahan bahasa Sunda yang salah saya
terjemahkan. Misalnya ketika saya ingin mengatakan lupa, seharusnya saya
mengucapkan “poho” tetapi yang saya ucapkan adalah “poek”, dimana “poek”
berarti gelap. Saat itu saya mengucapkan kata “poek” dengan kencang kepada
seorang ibu karena lupa menitipkan uang arisan, tetapi ibu tersebut dan umi
justru bingung, bahkan umi sempat bertanya, “Apanya yang poek? Bukankah
langitnya cerah?”. Saya yang masih tidak sadar mengulangi lagi kata “poek” itu
dan menjelaskan kelupaan saya tentang uang arisan. Seketika meledaklah tawa umi
dan ibu tersebut karena salah pengucapan bahsa Sunda yang saya katakan. Ah,
begitu malunya saya.
Atau
ketika saya ditanya oleh teman umi, “Udah bisa bahasa Sunda ya neng?”, dengan
percaya diri saya menjawab, “Atos bu, saluetik-saluetik”.
Maksud saya ingin mengatakan sedikit-sedikit sudah bisa, namun yang saya
katakan itu justru melenceng artinya yaitu kecil-kecil. Ya pastinya mengundang
tawa orang-orang yang mendengarnya. Malu? Sudah pasti, tapi saya tetap tidak
kapok untuk belajar mengucapkan bahasa Sunda. Kalau takut malu karena salah ya
tidak akan pernah bisa belajar dan tidak akan tahu apa yang salah dan apa yang
benar kan :D Ya, di situlah letak kenikmatannya belajar, kita selalu bisa
menertawakan kesalahan karena kita tahu bahwa kita tidak akan pernah mengetahui
kebenaran bila kita tidak melakukan kesalahan.
Tidak
jarang umi bertingkah seperti guru yang memberikan ujian dadakan kepada
muridnya. Umi sering melakukan tes dadakan kepada saya tentang bahasa Sunda.
Ketika sedang mendengarkan ceramah pengajian yang disampaikan dengan bahasa
Sunda campur bahasa Indonesia, umi sering bertanya “Mengerti tidak artinya
apa?”. Tentu saja dengan percaya diri saya menganggukkan kepala tanda “Iya,
saya mengerti”. Umi kembali bertanya, “Apa artinya?”. Saya jelaskan apa maksud
yang saya tangkap dari bahasa Sunda yang disampaikan, meskipun saya masih sering
salah mengartikannya, hahaha.
Bahasa
Sunda memang tidak mudah dipelajari, ada bahasa Sunda halus dan ada bahasa
Sunda kasar. Umi juga mengajari saya kata-kata yang berkonotasi negatif agar
saya mengerti bila orang lain mengucapkannya kepada saya dan agar saya tidak
asal berucap bahasa Sunda yang bisa berakibat menyingung orang lain.
Umi,
begitulah saya sering memanggil beliau bila membutuhkan bantuan. Umi, seperti
itulah saya menyebutnya bila menanyakan resep masakan kesukaan suami. Umi,
kepada beliaulah saya menoleh bila membutuhkan penerjemah bahasa
Sunda-Indonesia. Umi, begitulah saya menyebut penerjemah terbaik saya.
Selamat
hari Kartini untuk Umi J
-200415-
1 komentar:
Terimakasih banyak partisipasinya yaa
Posting Komentar