Tiada yang salah dengan
ungkapan “Welcome the the jungle” ketika kita sedang berada di jalan raya. Karena
semua orang memiliki kepentingannya masing-masing maka ego pun menjadi tinggi,
sehingga sikap untuk saling mengalah semakin menghilang. Mungkin sudah menjadi
pemandangan yang biasa ketika jalan raya menjadi ajang pertempuran, saling
salip-menyalip dan saling membuang rasa sabar. Kendaraan yang memiliki roda
berapa pun tidak akan pernah luput dari kesalahan.
Bila seorang pejalan kaki
tertabrak sepeda motor, maka sepeda motor-lah yang salah. Bila sepeda motor
tertabrak mobil, maka mobil-lah yang salah. Bila mobil tertabrak truk atau
fuso, maka truk atau fuso-lah yang salah. Rangkaian salah tersebut seolah sudah
menjadi “hukum karma” yang turun-temurun bagi para pengendara.
Tepat di sebelah kiri mobil
kami ada sebuah sepeda motor yang tidak tahu akan menuju ke arah mana, tetapi
posisinya selalu mepet ke arah mobil.
Sebelum mobil berbelok, sepeda motor itu justru semakin dekat dengan mobil. Karena
adik khawatir kalau sepeda motor tersebut akan tersenggol maka dia mengerem
mobil secara mendadak.
Bapak saya yang duduk di
bagian kursi penumpang depan segera membuka kaca jendela, bermaksud untuk
marah. Tetapi ternyata didahului oleh kemarahan ibu saya yang duduk di kursi
penumpang tengah tepat dibagian kiri,
sehingga lebih dekat ke sepeda motor tersebut. Serta merta ibu menurunkan
jendela dan mengomel ke arah pengendara sepeda motor tersebut.
Dengan logat khas orang Medan
ibu mengomel seperti ini “Nggak kau
lihat lampu sein mobil ini yang mau belok ke kiri? Udah tau orang mau belok,
koq malah mepet-mepet pula kau ke
mobil. Nanti ketabrak kami pula yang salah”
Kami semua yang di dalam mobil
bengong melihat ibu marah dan mengomel seperti itu. Mengapa? Karena selama ini
ibu tidak pernah marah kepada para pengendara sepeda motor atau kepada
pengendara asal lainnya, karena setiap kali ada kejadian yang tidak
menyenangkan di jalan raya ibu selalu berkata “Sabar nak, namanya juga jalan
raya, kita harus sabar, harus ada yang mengalah”.
Akhirnya si pengendara sepeda
motor yang berboncengan itu berhenti melajukan kendaraannya, mobil kami pun
melenggang manis belok ke arah kiri jalan. Setelah dibahas, kami berspekulasi
bahwa pengendara motor tersebut mungkin ketakutan karena tidak memakai helm. Saat
itu, di tengah persimpangan memang berdiri seorang pria yang mengenakan rompi berwarna
hijau stabillo ala polisi lalu lintas. Pria tersebut bukanlah polisi tetapi
hanya orang sipil yang berbaik hati membantu mengatur lalu lintas di
persimpangan tersebut yang selalu saja macet. Pria tersebut sering juga disebut
sebagai “polisi gocap/goceng”. Nah, mungkin si pengendara motor itu takut
ditilang oleh si polisi gocap itu sehingga dia bersembunyi di sebelah mobil
kami dan selalu mepet-mepet.
Bukan membela ibu saya, tetapi
kejadian seperti itu memang sudah sering terjadi, bagi para pegnendara mobil,
Anda juga pasti pernah merasakan, jadi wajar rasanya bila ibu saya marah. Marah
di sini dalam artian demi kebaikan semua orang, karena bila saja ibu tidak
bertindak demikian tentu si pengendara sepeda motor akan terjatuh karena
menabrak mobil kami, tentu saja pengendara motor tersebut tidak akan merasa
bersalah, dan bila mereka menderita luka maka kamilah yang harus bertanggung
jawab.
Ah, ada-ada saja kelakukan
para pengendara di jalan raya. Kalau tidak mau ditilang ya pakailah helm, kalau
tidak mau ditabrak atau tertabrak ya harus waspada juga, jangan suka asal
mengebut dan menganggap bahwa jalan raya ini miliki pribadi. Seperti kata
orang-orang, “Jangan kau kira jalan ini punya nenek moyang kau ya, seenaknya
aja kau bertingkah” :D
230812
0 komentar:
Posting Komentar