Diberi hati malah minta jantung, orang sekarang memang
tidak tahu diuntung. Sepertinya kalimat tersebut cukup menggambarkan apa yang
sedang kami rasakan. Memang, tidak semua orang bersikap seperti itu, namun
sebagian besar orang-orang yang bertandang atau meminta sesuatu seperti tidak
mengerti sopan santun dan tata krama, bahkan lebih kepada tindakan “Belanda
minta tanah”, astagfirullah…
Sudah sejak lama, halaman rumah kami disinggahi oleh
beragam kendaraan yang dengan sengaja maupun tidak sengaja terparkir. Tidak ada
masalah sama sekali, hanya saja sebagian besar orang-orang tersebut tidak mau
mengetuk pintu untuk permisi dan meminta izin. Bahkan, pernah beberapa kali,
ketika kakek saya sedang duduk santai di beranda rumah, orang-orang tersebut
sesuka hatinya memarkirkan kendaraannya. Hello! Di sini ada pemiliknya loh?!
Bukan hanya anak muda atau orang-orang dewasa yang sama
sekali tidak kami kenal, namun ada juga orang tua yang seenaknya memalangkan
kendaraan roda empatnya di depan rumah. Saya ingin tahu, siapa pemilik mobil
tersebut. Ketika saya membuka pintu rumah dan mereka melihat saya, tidak ada
yang mereka katakan, seolah tidak terjadi apa pun! Mereka melenggang pergi dan
meninggalkan mobilnya di halaman rumah kami. Lantas, saya ini dianggap apa oleh
mereka ya?
Bila saya tegur, serasa tidak pantas, bukankah mereka
jauh lebih tua daripada saya dan seharusnya mereka lebih mengerti tentang apa
itu sopan santun dan tata krama? Tetapi, bila tidak saya tegur, lah mereka kan
menggunakan halaman rumah orang lain, kenapa tidak meminta izin ya? Antara jengkel,
kesal dan sabar bercampur baur. Kejadian seperti ini memang bukan hanya sekali,
namun lama-kelamaan terkesan semakin tidak menghargai orang lain.
Pernah suatu ketika, mungkin perasaan kakek saya yang sudah
terlalu jengkel, maka beliau memasang sebuah patok di tengah-tengah halaman
agar orang lain tidak sesukanya memarkirkan kendaraan mereka tanpa izin. Namun,
pada akhirnya patok tersebut dicabut kembali, “Biarlah lahan yang sedikit ini
menjadi ladang pahala” kata kakek saya. Meski pun sampai sekarang masih banyak
orang-orang yang tidak sopan memarkirkan kendaraannya di halaman rumah kami.
Itu masih terkait halaman rumah yang digunakan tanpa
izin, dan masih ada beberapa perkara lagi yang berkaitan dengan perizinan,
sopan santun dan tata krama. Di halaman rumah kami tertanam beberapa tumbuhan
yang berguna, seperti pandan, rimbang, belimbing wuluh, jeruk purut dan jambu
air. Nenek sendiri tidak pelit membaginya kepada orang-orang yang membutuhkan.
Pada awalnya, orang-orang meminta izin untuk mengambil
beberapa helai daun pandan, buah atau bunga belimbing wuluh, atau beberapa
lembar daun jeruk purut. Lama-kelamaan, mereka mengambilnya sendiri tanpa
mengucapkan apa pun. Atau, setelah mereka mengambil, baru kemudian mereka
meminta izin. Atau, yang lebih parahnya, mereka meminta izin dan menjawabnya
sendiri kemudian langsung mengambil tanaman apa yang mereka butuhkan, misalnya seorang
ibu berteriak “Bu, minta daun jeruk purutnya ya? Iya”, nah, kalimat itu dia
ucapkannya sendiri! Orang yang aneh, batin saya. Minta koq ya jawab sendiri.
Saya sendiri memang sering terlihat jengkel dengan ulah
mereka. Saya ini wanita yang masih mengikuti ajaran kuno bahwa orang tua selalu
mengajarkan tentang sopan santun, tata krama, menghormati dan menghargai orang
lain. Itu sebabnya saya merasa ada keganjilan, mengapa para orang tua itu yang
notabene seharusnya menjadi panutan justru menjadi sosok yang tidak bisa
dipercaya lagi. Mereka mengajarkan, namun justru mereka yang melanggar.
Memang, tidak semua orang tua seperti mereka. Masih ada
golongan orang tua yang masih memegang erat apa arti sopan santun dan tata
krama. Hendaknya, semua filosofi kehidupan itu tidak serta merta menjadi
tanggung jawab para kaum muda saja, tetapi juga untuk para kaum tua. Jangan
pernah mendoktrin dengan dua pasal abadi, yaitu Pasal Pertama, orang tua selalu
benar, dan Pasal Kedua, bila orang tua salah maka kembali ke pasal satu. Karena,
bila kedua pasal ini diterapkan akan semakin banyak anak muda yang menjadi
pembangkang.
Terlepas dari itu semua, kita harus selalu mengingat
bahwa apa saja yang kita lakukan di dunia ini akan diminta pertanggung
jawabannya kelak di akhirat. Tidak peduli berapa pun umur Anda, sopan santun
dan tata krama itu tetap harus di junjung, karena kedua hal itu merupakan
bagian dari citra bangsa Indonesia. Meski pun pada kenyataannya kita semua
mengetahui bahwa kedua hal itu mulai menghilang seiring dengan melorotnya
moral, baik moral kaum muda maupun kaum tuanya. Kalau bukan kita, siapa lagi
yang mau melestarikan karakter-karakter bangsa Indonesia? Kalau bukan kita,
siapa lagi yang mau menyelamatkan citra Indonesia?
220412
0 komentar:
Posting Komentar