22 April 2012

Sopan Santun dan Tata Krama Itu Untuk Semua Umur


Diberi hati malah minta jantung, orang sekarang memang tidak tahu diuntung. Sepertinya kalimat tersebut cukup menggambarkan apa yang sedang kami rasakan. Memang, tidak semua orang bersikap seperti itu, namun sebagian besar orang-orang yang bertandang atau meminta sesuatu seperti tidak mengerti sopan santun dan tata krama, bahkan lebih kepada tindakan “Belanda minta tanah”, astagfirullah…

Apakah tindakan meminta izin sangat sulit dilakukan seperti tindakan meminta maaf? Bukankah kita sebagai orang Indonesia terkenal dengan sopan santun dan tata kramanya, walaupun akhir-akhir ini  kedua sikap tersebut memuai entah kemana, mungkin itu sebabnya orang-orang sekarang terkesan sangat cuek dan tidak perduli dengan orang lain, bahkan meminta izin sekalipun.

Sudah sejak lama, halaman rumah kami disinggahi oleh beragam kendaraan yang dengan sengaja maupun tidak sengaja terparkir. Tidak ada masalah sama sekali, hanya saja sebagian besar orang-orang tersebut tidak mau mengetuk pintu untuk permisi dan meminta izin. Bahkan, pernah beberapa kali, ketika kakek saya sedang duduk santai di beranda rumah, orang-orang tersebut sesuka hatinya memarkirkan kendaraannya. Hello! Di sini ada pemiliknya loh?!

Bukan hanya anak muda atau orang-orang dewasa yang sama sekali tidak kami kenal, namun ada juga orang tua yang seenaknya memalangkan kendaraan roda empatnya di depan rumah. Saya ingin tahu, siapa pemilik mobil tersebut. Ketika saya membuka pintu rumah dan mereka melihat saya, tidak ada yang mereka katakan, seolah tidak terjadi apa pun! Mereka melenggang pergi dan meninggalkan mobilnya di halaman rumah kami. Lantas, saya ini dianggap apa oleh mereka ya?

Bila saya tegur, serasa tidak pantas, bukankah mereka jauh lebih tua daripada saya dan seharusnya mereka lebih mengerti tentang apa itu sopan santun dan tata krama? Tetapi, bila tidak saya tegur, lah mereka kan menggunakan halaman rumah orang lain, kenapa tidak meminta izin ya? Antara jengkel, kesal dan sabar bercampur baur. Kejadian seperti ini memang bukan hanya sekali, namun lama-kelamaan terkesan semakin tidak menghargai orang lain.

Pernah suatu ketika, mungkin perasaan kakek saya yang sudah terlalu jengkel, maka beliau memasang sebuah patok di tengah-tengah halaman agar orang lain tidak sesukanya memarkirkan kendaraan mereka tanpa izin. Namun, pada akhirnya patok tersebut dicabut kembali, “Biarlah lahan yang sedikit ini menjadi ladang pahala” kata kakek saya. Meski pun sampai sekarang masih banyak orang-orang yang tidak sopan memarkirkan kendaraannya di halaman rumah kami.

Itu masih terkait halaman rumah yang digunakan tanpa izin, dan masih ada beberapa perkara lagi yang berkaitan dengan perizinan, sopan santun dan tata krama. Di halaman rumah kami tertanam beberapa tumbuhan yang berguna, seperti pandan, rimbang, belimbing wuluh, jeruk purut dan jambu air. Nenek sendiri tidak pelit membaginya kepada orang-orang yang membutuhkan.

Pada awalnya, orang-orang meminta izin untuk mengambil beberapa helai daun pandan, buah atau bunga belimbing wuluh, atau beberapa lembar daun jeruk purut. Lama-kelamaan, mereka mengambilnya sendiri tanpa mengucapkan apa pun. Atau, setelah mereka mengambil, baru kemudian mereka meminta izin. Atau, yang lebih parahnya, mereka meminta izin dan menjawabnya sendiri kemudian langsung mengambil tanaman apa yang mereka butuhkan, misalnya seorang ibu berteriak “Bu, minta daun jeruk purutnya ya? Iya”, nah, kalimat itu dia ucapkannya sendiri! Orang yang aneh, batin saya. Minta koq ya jawab sendiri.

Saya sendiri memang sering terlihat jengkel dengan ulah mereka. Saya ini wanita yang masih mengikuti ajaran kuno bahwa orang tua selalu mengajarkan tentang sopan santun, tata krama, menghormati dan menghargai orang lain. Itu sebabnya saya merasa ada keganjilan, mengapa para orang tua itu yang notabene seharusnya menjadi panutan justru menjadi sosok yang tidak bisa dipercaya lagi. Mereka mengajarkan, namun justru mereka yang melanggar.

Memang, tidak semua orang tua seperti mereka. Masih ada golongan orang tua yang masih memegang erat apa arti sopan santun dan tata krama. Hendaknya, semua filosofi kehidupan itu tidak serta merta menjadi tanggung jawab para kaum muda saja, tetapi juga untuk para kaum tua. Jangan pernah mendoktrin dengan dua pasal abadi, yaitu Pasal Pertama, orang tua selalu benar, dan Pasal Kedua, bila orang tua salah maka kembali ke pasal satu. Karena, bila kedua pasal ini diterapkan akan semakin banyak anak muda yang menjadi pembangkang.



Terlepas dari itu semua, kita harus selalu mengingat bahwa apa saja yang kita lakukan di dunia ini akan diminta pertanggung jawabannya kelak di akhirat. Tidak peduli berapa pun umur Anda, sopan santun dan tata krama itu tetap harus di junjung, karena kedua hal itu merupakan bagian dari citra bangsa Indonesia. Meski pun pada kenyataannya kita semua mengetahui bahwa kedua hal itu mulai menghilang seiring dengan melorotnya moral, baik moral kaum muda maupun kaum tuanya. Kalau bukan kita, siapa lagi yang mau melestarikan karakter-karakter bangsa Indonesia? Kalau bukan kita, siapa lagi yang mau menyelamatkan citra Indonesia?


220412

0 komentar:

Posting Komentar

ShareThis