Sumber Gambar |
Beberapa hari ini, ibukota
Indonesia, yaitu Jakarta, sedang dilanda banjir bandang, banjir besar-besaran.
Berbagai simpati dan bantuan datang untuk menolong para korban, tetapi banyak
juga yang menjadikan bencana ini sebagai gurauan. Ah, rasanya tidak etis
menertawakan atau sekedar menyengir melihat bencana ini.
Apa yang terjadi mungkin
adalah bentuk kekecewaan sungai kepada kita. Sungai membludak dan ingin
mengembalikan sampah-sampah kepada pemiliknya. Kesadaran untuk membuang sampah
pada tempatnya memang masih sangat memprihatinkan. Bukankah tempat-tempat
(tong-tong) sampah sudah tersedia di berbagai tempat umum? Tetapi mengapa sulit
sekali bagi kita untuk meletakkan bungkusan bekas pakai ke tempat yang
seharusnya (tong sampah)?
Pernah juga saya mendapatkan
teguran dari nenek karena melarangnya membuang sampah di sungai yang terletak
di belakang rumah.
“Nek, kenapa harus membuang
sampah di sungai? Kan sudah ada truk pengangkut sampah yang setiap hari lewat
di depan rumah. Lagipula biayanya cuma Rp 5000,- per bulan, murah meriah” jelas
saya mencoba mencegah sekaligus memberikan solusi.
Ternyata respon yang diberikan
diluar perkiraan saya, “Ah, ngapain ke truk sampah, bayar pula, sayang duitya.
Duit Rp 5000 kan bisa dibelikan sayuran” jawab nenek menghiraukan solusi yang
saya berikan. Walah, pemikiran wong tue’ zaman doeloe emang jauh berbeda ya.
Sekitar tahun 2011, kota Medan
juga pernah dilanda banjir bandang, meski tidak separah seperti banjir yang di
Jakarta seperti sekarang ini. Dengan mata kepala saya sendiri, saya melihat
sungai Deli yang berada di belakang rumah nenek meluap dan mencapai batas
tanggul. Arusnya tampak deras dan amarahnya terlihat sangat mengerikan. Kalau
saja tanggul itu tidak kuat menahan debit air yang terus bertambah, mungkin
beberapa kelurahan akan terendam. Syukur Alhamdulillah kami semua masih
dilindungi oleh Allah SWT.
Di hari yang sama, saya harus
mengantarkan nenek berobat ke suatu tempat. Mobil kami melewati sebuah jembatan
yang air sungainya juga membludak hingga mencapai ke jembatan. Pemukiman
penduduk di sekitar jembatan itu tentu saja terendam. Pemandangan yang terlihat
adalah banyak orang yang hilir mudik menyelamatkan barang-barang berharganya,
baik dari tokonya maupun dari rumahnya. Banyak juga orang yang hanya sekedar
melihat pemandangan itu, bukan ikut memberikan pertolongan, itulah salah satu
keanehan dari masyarakat Indonesia, terlalu sibuk dan senang menjadi penonton
dari bencana alam yang terjadi.
Air sungai yang meluap di
Jakarta juga tidak lupa mengunjungi istana negara, meskipun bukan termasuk
kunjungan rutin atau kunjungan resmi, tetapi siapa yang bisa melarang air
sungai tersebut masuk ke dalam lingkungan istana? Jawabannya adalah tidak ada
yang bisa mencegahnya. Mungkin sungai juga ingin mengatakan bahwa bencana
banjir ini bukan hanya milik orang-orang kecil dan miskin, tetapi juga milik
orang-orang besar, pejabat dan kaya raya. Ya bisa jadi sungai ingin membagi
rata rezeki dari Allah kepada semua orang, toh semua orang bisa merasakan
senangnya main air, jarang-jarang lho melihat orang nomor satu di Indonesia
bisa main air banjir, hehehe.
Di negara ini, sungai memang
identik dengan sampah dan berakhir pada banjir. Tentu saja manusia tidak ingin
disalahkan, sebagian besar mungkin akan menyalahkan Tuhan (astagfirullah),
mengapa Tuhan mengirimkan banyak curah hujan ke tempat yang memang sudah
berpotensi banjir, sedangkan Tuhan tidak menurunkan hujan di tempat kering dan
sangat membutuhkan air.
Itu semua adalah rahasia dan
kehendak Allah SWT, kita tidak akan pernah bisa mencegahnya, walau dengan cara
apapun tanpa izin dari-Nya. Mungkin Allah memberikan kewenangan kepada sungai
untuk memberitahukan kepada kita bahwa inilah akibatnya bila kita tidak menjaga
kebersihan dan tidak bisa menjaga kelestarian alam, mungkin dengan cara seperti
inilah Allah mengembalikan apa yang seharusnya memang menjadi milik kita, yaitu
sampah.
Sungai mengembalikan
sampah-sampah kepada pemiliknya dengan cara yang berbeda, tetapi sungai
memiliki metode yang sama dalam menyampaikannya, yaitu membuang sampah itu
sekehendak hatinya, dimanapun, kapanpun dan kepada siapapun. Mungkin selama ini
sungai hanya bisa berdiam diri diperlakukan semena-mena oleh kita, tapi suatu
saat pasti dia akan “membalasnya”.
Dan peran serta segelintir
orang yang sepenuh hati menjaga kelestarian sungai adalah bentuk kasih sayang
dan penghargaan kepada pemberian Allah. Maka, sudah sepantasnya kita ikut
membantu mereka untuk menjaga kebersihan sungai, minimal kita bisa menjaga
kebersihan diri kita sendiri. Dan, jangan pernah menunggu amarah Allah dan
alamnya dulu baru kemudian kita berubah.
190113
1 komentar:
Semoga hal ini tidak akan terjadi lagi
Posting Komentar