15 Mei 2014

Menutup Mulut Atau Menutup Telinga?

Lebih baik mana, menutup mulut atau menutup telinga Anda? Pilihan untuk menutup antara kedua indera itu harus disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang terjadi pada kita. Ada saatnya kita harus menutup mulut, agar kita bisa belajar sabar dan mendengarkan ketika orang lain sedang berbicara. Ada saatnya juga kita harus menutup telinga, agar kita bisa belajar untuk mandiri dan berusaha untuk mengambil sisi positif dari semua hal yang dibicarakan atau disampaikan orang lain.

Sungguh bukan merupakan perbuatan atau sikap yang mudah dalam menggunakan panca indera sesuai dengan fungsinya. Secara tidak sadar, kita melakukan penyimpangan dalam menggunakan atau memanfaatkan panca indera ini, sehingga tidak heran bila kita selalu saja berbuat dosa, na’udzubillah…

Contoh sederhana, di saat kita mendengar seruan untuk mendirikan sholat, yaitu adzan yang dikumandangkan di masjid atau mushola atau di televisi atau di radio. Apa yang kita lakukan? Sebagian besar seolah tidak mendengarnya, hanya dianggap angin lalu dan tetap melanjutkan aktifitasnya. Namun, ada juga yang langsung menonaktifkan peralatan elektronik dan segera menunaikan sholat.

Contoh di atas baru seruan adzan loh, belum lagi kalau kita sedang mengikuti pengajian, astagfirullah… bisa lebih tidak perdulinya dengan lantunan ayat-ayat Al-Qur’an. Seperti yang selama ini saya perhatikan, dimana kebiasaan atau habit pengajian lebih condong ke arah yang lebih banyak mudhorotnya. Mohon maaf, bukannya saya menjelek-jelekkan ajaran agama saya sendiri, tidak, tetapi saya ingin kita semua melakukan intropeksi diri dan segera melakukan perbaikan diri agar tidak saling menjerumuskan. Mohon bantuan kritiknya bila saya salah dengna hal ini :)

Mohon maaf lagi ya, pengajian yang sering dilaksanakan yang lebih sering dihadiri oleh ibu-ibu adalah ajang silaturahim yang akan menimbulkan banyak dosa bila kita tidak bisa mengendalikan nafsu. Bertemu dan saling tegur sapa adalah baik, silaturahim, tetapi kalau dibarengi dengan obrolan aib orang lain atau membahas kabar yang belum tentu benar itu bisa jadi fitnah. Membaca beberapa surat dari Al-Qur’an atau melakukan shalawatan juga merupakan hal yang baik dan mendatangkan rahmat, tetapi kalau membacanya saling kebut-kebutan atau saling egois (membaca sendiri-sendiri) bisa tidak enak didengar telinga dan membuat suasana semakin gaduh. Bukankah kalau dibaca secara bersama-sama lebih terdengar dinamis dan terlihat kompak ya? :D

Nah, kemudian kita menuju ke area suguhan makanan. Astagfirullah… kalau temanya tentang “makanan”, siapa sie yang tidak ragu untuk segera mengisi tasnya dengan aneka jajajan pasar yang terlihat menggiurkan. “Ah, kue yang ini untuk cucuku si A. Eh, kue yang itu untuk si C. Oh, masih ada kue yang di ujung sana untuk si D. Kue untuk si E dan F mana ya, mereka belum dapat” . Nah loh, ini mau mengaji atau mau ngumpulin makanan yak :p Akhirnya konsentrasi membaca ayat-ayat suci Al-Qur’an pun buyar tergantikan langsung dengan pemandangan sajian kue dan bungkusan nasi kotak. “Siapa cepat dia dapat! Kalau lambat, keburu telat, ntar diambil sama yang lain dan nggak kebagian deh” Astagfirullah…

Pola pikir kita ini harus benar-benar diperbaharui dan segera disamakan dengan ajaran yang telah disampaikan oleh Rasul SAW. Mengaji itu bukan hanya berbicara tentang datang, makan dan pulang. Mengaji itu bukan hanya membahas tentang ayat-ayat suci Al-Qur’an. Mengaji itu tentang bagaimana cara kita menghadapi diri kita sendiri, tentang bagaimana cara kita meraih simpati dan ridho dari Allah SWT, tentang bagaimana kita menyimpan bekal untuk kehidupan nanti.

Saya sendiri tidak luput dari kesalahan, tetapi saya selalu berusaha untuk memperbaiki diri, berusaha untuk segera melakukan intropeksi diri atas apa-apa yang telah saya lakukan. Bagi saya, memperbaiki diri itu wajib hukumnya. Toh manfaatnya bukan hanya untuk diri kita sendiri, tetapi juga bermanfaat bagi orang lain.

Berusaha untuk menutup mulut rapat-rapat dan menahan nafsu untuk berbicara sebelum orang yang berbicara kepada saya selesai menyampaikan maksudnya. Hal itu tidak mudah loh, karena salah satu habit buruknya manusia ini adalah adanya sikap egois, hanya ingin didengarkan tanpa mau mendengar. Tetapi juga jangan berlaku yang sebaliknya, ketika orang lain sedang memanggil atau meminta pendapat kita tentang suatu hal, eh kitanya malah diam saja, itu namanya angkuh.

Sumber
Berusaha untuk menutup telinga juga harus disesuaikan dengan situasi dan kondisinya. Jangan pula kita menutup telinga ketika seseorang sedang memberikan nasehat. Tutuplah telinga rapat-rapat saat kita sedang konsentrasi mendengarkan ceramah dari alim ulama, maksud menutup telinga disini adalah menutup telinga untuk obrolan orang lain yang tidak ada kaitannya dengan ceramah atau pengajian yang sedang kita ikuti. Hal ini juga berkaitan dengan kebiasaan bercerita atau mengobrol saat berada di dalam majelis pengajian, bukannya mendengarkan apa yang disampaikan oleh penceramah eh malah “berceramah sendiri” tentang hal yang lain, astagfirullah….

Menutup atau membuka panca indera adalah hak masing-masing orang, begitu pula pendapat Anda dalam menyikapi apa yang saya sampaikan ini, pasti ada pro dan kontra. Apa pun pendapat atau opini Anda, saya tetap menghargainya, begitu pula dengan opini yang saya sampaikan, semoga kita semua dapat mengambil hikmahnya, aamiin ya Rabb.

Wallhu’alam…


-150514-


0 komentar:

Posting Komentar

ShareThis