Meskipun saya seorang wanita yang tidak wajib mengikuti sholat Jum’at, tetapi saya berkewajiban untuk mendengarkan ceramah agama yang disampaikan. Tentu saja banyak topik yang diangkat, umumnya berkaitan dengan nilai-nilai Islam ataupun tentang kehidupan nabi-nabi dan Rasul SAW. Namun, akhir-akhir ini entah mengapa ceramah agama yang ada di masjid dekat rumah, terdengar penuh dengan emosi, menggebu-gebu dan selalu mengangkat topik terkini, masalah sosial, politik, maupun tentang Islam radikal, bahkan lumayan sering saya mendengar tentang pemerintahan.
Namun, apa yang saya bahas dalam tulisan ini bukanlah tentang topik-topik tersebut, melainkan bagaimana cara para penceramah itu menyampaikannya. Saya ini bukanlah siapa-siapa yang pantas untuk melayangkan kritik, tetapi sebagai seorang pendengar dan sebagai seorang muslim, saya mulai merasa “jengah” dengan suara-suara lantang para penceramah.
Saya pernah merasakan seperti itu. Di Jum’at siang yang terik, seorang penceramah di masjid dekat rumah saya tidak menggunakan microphone, namun, suaranya yang sangat keras (seperti berteriak-teriak) telah membuat saya dan beberapa tetangga berhamburan ke luar rumah. Kami kaget dan mengira kalau ada pertengkaran di masjid. Ternyata oh ternyata, sedang ceramah Jum’at, astagfirullah. Perasaan saya ketika itu antara kaget, geli dan heran. Mengapalah penceramah itu harus berteriak-teriak di siang bolong begini, sungguh tidak nyaman rasanya dan membuat orang terkaget-kaget dengan teriakannya.
Siang ini, saya rasa penceramahnya berbeda dari cerita yang di atas. Awalnya suaranya terdengar datar penuh ketegasan, namun ternyata, secara tiba-tiba intonasi suaranya meninggi. Tuing… tuing… saya pun terkaget-kaget. Intonasi yang digunakan beliau naik turun, pelan, tegas, kemudian meninggi dan melengking, kembali lagi pelan, tegas, dan melengking kemudian, begitu seterusnya. Astagfirullah… apa memang begini ya trend berceramah saat ini?
Bukan ingin membandingkan, saya lebih menyukai gaya beceramah Aa Gym atau Ustadz Jefri yang lembut, tegas, menyelipkan humor, namun tetap membumi. Mereka mampu membuat orang-orang diam dan mendengarkan apa yang mereka bicarakan walau pun dengan intonasi yang lembut. Subhanallah, Rasul saja selalu berkata dengan lemah lembut, apalagi kita yang tidak ada apa-apanya ini, harus lebih lembut kan? Lembut bukan berarti tidak tegas, bukan berarti lemah, bukan berarti terlalu lembek. Bukankah, manusia memiliki naluri kelembutan dan selalu menginginkan kelembutan itu?
Contoh kecil, pernahkah Anda melihat foto seorang preman yang bertato dan bertampang seram sedang disuapi makan oleh emaknya? Foto itu memang lucu, tapi, orang yang berpredikat preman saja menyukai kelemahlembutan dan kasih sayang. Itu adalah sifat alami manusia. Lelaki bertubuh kekar dan berjiwa kesatria pun akan luluh dalam kelemahlembutan ibu atau istrinya. Wanita yang super perkasa juga akan luruh dalam pelukan hangat dan lembut ibunya. Mereka dan kita semua akan luluh dengan ucapan yang lembut, jadi, mengapa harus berteriak-teriak untuk menyampaikan sesuatu?
Memang, tidak ada yang sempurna di dunia ini. Manusia yang mendiami bumi ini sangat beragam, mereka hidup dengan ciri khas-nya masing-masing. Intonasi suara yang tinggi mungkin merupakan pembawaan seseorang, misalnya orang-orang yang tinggal di sekitar pabrik cenderung akan berbicara dengan intonasi yang tinggi. Hal itu mereka lakukan untuk mengalahkan suara deru mesin pabrik ketika sedang berbicara dengan orang lain. Namun, ketika sedang berada di dalam masjid atau sedang menyebarkan dakwah, janganlah intonasi tinggi itu dibawa-bawa. Allah tidak tuli, dan tidak semua orang-orang yang mendengar ceramah mengalami gangguan pendengaran.
Semoga apa yang saya sampaikan ini menjadi pelajaran bagi kita semua, dan semoga kita semua mau belajar untuk berbicara dengan lemah lembut, baik kepada Allah, maupun kepada makhluk Allah yang lainnya. Intonasi yang tinggi ini mungkin awal dari adanya Islam garis keras, hingga menjadi Islam radikal dan dibenci oleh banyak orang. Bukan Islamnya yang jelek atau rusak, bukan agamanya, tapi orang-orang yang menyalahartikan Islam itu sendiri.
Ah, saya ini apalah, tidak pantas berbicara terlalu banyak tentang hal kritis seperti ini. Saya hanya menyampaikan keluh kesah saya tentang gaya berceramah yang sedang trend saat ini. Semoga, masih banyak penceramah yang senang dengan kelemahlembutan dan tidak hobi mengagetkan orang dengan intonasi suaranya J
160312
0 komentar:
Posting Komentar