21 Maret 2012

“Nak, Ibu Menyusulmu…”


Tadi malam, saya mendapatkan kabar kalau anak pertama yang baru saja dilahirkan oleh teman saya meninggal dunia. Saya dan beberapa tetangga melayat ke rumahnya. Pipit gendut adalah nama panggilan akrab untuk sosok tambun yang baru saja melahirkan itu, dia adalah adik kelas saya ketika di bangku SD.
                         
Anak yang dilahirkannya itu adalah anak pertama, buah cinta pernikahannya selama 3 tahun, dan anak tersebut berjenis kelamin laki-laki. Ketika itu, para tetangga yang hadir baru berkisar 5 orang, termasuk saya dan sahabat saya. Sang mertua duduk memandangi jenazah cucunya, tertegun sedih namun tampak tegar. Kami diperbolehkan melihat wajah almarhum si kecil. Tenang, seperti tertidur, meskipun bibirnya sudah membiru.

Salah satu buleknya, yang bernama kak Esa, bercerita singkat tentang kejadian yang tidak terduga ini. Pipit mengalami konstraksi sekitar pukul 16.30 WIB, dan segera di bawa ke klinik bidan terdekat, maklum, mereka orang susah, jadi lebih memilih melahirkan di bidan daripada di rumah sakit yang harus mengeluarkan biaya lebih besar. Pada saat itu, suami Pipit entah kemana, saudaranya sibuk mengangarkan Pipit dan juga mencoba menghubungi suaminya, yang masih juga tak ada jawaban.

Sekitar pukul 17.00 WIB, ketuban Pipit telah pecah dan si anak telah di ujung “pintu”, ingin segera menghirup udara bebas. Namun, entah bagaimana kejadiannya, anak ini tidak juga keluar, kata bibinya, seperti  tidak “ngajak”. Saya tidak mengerti dengan istilah orang tua ”ngajak” tersebut, mungkin artinya berhenti di tengah jalan. Mereka memberikan saran agar Pipit di operasi saja, namun Pipit tidak mau, takut, katanya. Hingga akhirnya ketika anak Pipit telah keluar, dia telah membiru. Seketika bulek Pipit lainnya yang menemani persalinan Pipit mencoba menepuk-nepuk pantatnya, mencoba membuat agar si anak menangis, namun tidak juga berhasil.

Mereka bertindak cepat, bibi tersebut membawa bayi ke rumah sakit swasta di jalan Karya, berharap semoga masih ada kehidupan. Ternyata Allah berkehendak lain, anak tersebut meninggal. Sang bibi pun membawa pulang jenazah anak Pipit ke rumah untuk disemayamkan, dan pulang ke rumahnya untuk membersihkan diri.

Kembali ke suasana di rumah duka, saat kami masih mendengarkan cerita kak Esa tersebut, tiba-tiba datang seorang bapak-bapak mengatakan kepada kami, “Tolong siapkan tilam satu lagi”. Tentu saja kami bingung, bukankah almarhum anak telah ditidurkan di atas tilam kecil yang berada di tengah-tengah ruangan tamu ini. Bapak tersebut kemudian berkata, “Ibunya menyusul…”. Kami pun hanya bisa mengucap astagfirullah dan innalillahi wa innalillahi rozi’un, semua yang mendengar kabar tersebut menangis.

Dengan cepat kabar tersebut menyebar hingga ke beberapa gang dari rumah duka, selain karena para warga juga mengenal Pipit sebagai sosok yang ramah dan rame dengan celotehannya. Saya tidak kuasa menahan air mata, apalagi ketika melihat kain tipis berwarna putih yang menutupi wajah almarhum si kecil di buka, betapa mirip dia dengan ibunya, dan kerelaan ibunya untuk menyusul anaknya menghadap Illahi.

Tidak lama kemudian, warga pun mulai berdatangan, memenuhi seluruh ruang tamu yang kecil. Bulek yang menemani selama persalinan almarhum Pipit datang sambil tersedu sedan. Tentu saja dia merasakan kehilangan yang teramat sangat, karena dia yang mendampingi Pipit selama berjuang melahirkan.

Bulek tersebut bercerita sambil menguraikan air mata, dia masih teringat dengan permintaan terakhir Pipit sebelum melahirkan, “Bulek, aku kepengen minum jus kuini”, dengan sigap buleknya pun mencarikannya. “Bulek, aku mau berjuang untuk anakku”, itu kalimat semangat yang diutarakan Pipit sebelum melahirkan. “Bulek, aku minta maaf kalau ada salah” itu juga kalimat permintaan maaf terakhirnya sebelum melakukan proses persalinan.

Bulek ini menceritakan kejadiannya kembali, ketika anak Pipit telah keluar dengan wajah dan tubuh yang membiru dan ketika pantatnya ditepuk-tepuk juga tidak kunjung menangis, di situlah Pipit melihatnya. Pipit memang tidak bertanya kepada buleknya, tapi langsung memalingkan wajah. Bulek ini yang tidak begitu memperhatikan tingkah laku Pipit langsung membawa anak tersebut ke rumah sakit swasta yang di jalan Karya.

Si bulek tidak tahu kalau Pipit pendarahan, mungkin karena dalam masa kekacauan dan kebingungan tersebut, bahkan tidak ada yang tahu siapa yang membawa Pipit ke rumah sakit swasta itu juga. Namun, karena tidak ada dokter maka Pipit dirujuk ke rumah sakit swasta lainnya yang ada di jalan Bilal. Hingga akhirnya almarhum meninggal di sana. Mungkin almarhum shock ketika melihat anak yang dilahirkannya tidak bergeming, tidak menangis dan tidak bereaksi apa-apa, hingga dia mengalami pendarahan yang hebat.

Ada satu penyelawat yang juga teman almarhum Pipit datang, berdiri cukup lama untuk melihat suasana rumah duka dan duduk di dekat pintu. Tidak lama kemudian, dia berbicara dengan suara yang tinggi, tentang cerita almarhum Pipit beberapa hari yang lalu. Dia becerita tentang bakso bakar, tentang makanan lainnya yang diinginkan almarhum. Astagfirullah, ingin rasanya saya menyumpal mulutnya itu, mbok ya diam, hargai suasana duka yang menyelimuti rumah ini, atau kecilkan intonasi suaranya, atau janganlah bercerita tentang makanan seperti itu, tidak etis rasanya. Semua penyelawat juga melihat ke arah wanita itu, tapi sepertinya dia tidak merasa dengan sindiran halus kami. Astagfirullah, ada ya orang yang seperti itu, tidak menghargai suasana duka atau dia memang tidak paham dengan tata krama berduka?

Tidak lama setelah adzan Isya berkumandang, datanglah sebuah mobil ambulance lainnya, ini adalah mobil ambulance yang kedua, dimana mobil ambulance yang pertama membawa jenazah anak dan mobil ambulance yang kedua membawa jenazah ibunya, Pipit. Seketika tangis pecah, saya pun tak kuasa lagi membendung air mata.

Tubuh almarhum yang termasuk besar harus diangkat oleh beberapa laki-laki, seorang ibu berkata, “Pelan-pelan mengangkatnya, nanti sakit…”. Beberapa suster tampak mendampingi, mereka juga menitikkan air mata. Wajah almarhum Pipit tampak tenang, seperti tertidur, sama seperti almarhum anaknya yang disandingkan di sebelahnya.

Tangis kembali pecah dari kakak almarhum Pipit, yang bernama kak Tris, meraung-raung, sangat terpukul dan merasa kehilangan dengan almarhum. Raungannya mulai mengganggu jenazah, maka suaminya pun terpaksa membawanya ke luar rumah. Sedangkan suami almarhum Pipit datang, duduk bersila di hadapan jenazah anaknya, menangis tanpa bersuara, kemudian berdoa. Kejadian ini begitu cepat, dua orang yang dicintainya harus pergi menghadap Allh SWT, dan dia harus ikhlas. Berat memang, tapi dia terlihat cukup tegar menerima kenyataan ini.

Salah satu kenangan yang masih membekas diingatan saya adalah ketika kami beramai-ramai menghadiri resepsi pernikahan seorang teman. Dimana resepsi pernikahan JaCin tersebut pernah saya angkat menjadi sebuah tulisan. Pada resepsi itu, Pipit terlihat cantik dengan gaun berwarna ungu-nya dan didampingi suami tercinta. Dan, saat-saat itu telah menjadi kenangan…

Banyak hikmah yang bisa dipetik dari kejadian ini, hendaklah mempersiapkan segala sesuatunya menjelang masa persalinan, terapkanlah metode SIAGA (Siap Antar Jaga), bukan hanya kepada seluruh keluarga atau saudara yang membantu tetapi khususnya untuk sang suami harus memegang erat metode SIAGA ini. Perhatikan dan pertimbangkan dengan sekesama sebelum memilih tempat bersalin. Bila saat-saat kritis tiba, cepatlah ambil keputusan, agar dapat meminimalisir keadaan yang tidak diinginkan. Kondisi fisik dan mental si ibu juga harus diperhatikan, karena ini adalah salah satu faktor penting dalam suksesnya persalinan. Sering-seringlah kontrol kandungan menjelang masa persalinan.

Sedangkan kita yang berperan sebagai penyelawat atau sahabat dan teman yang berbelasungkawa, hendaknya menjaga tata karma. Sebaiknya kita menghormati almarhum dengan diam dan merenungkan bahwa Allah dapat mengambil siapa saja yang dikehendaki-Nya, bahwa kita ini dapat kembali kepada-Nya kapan saja. Bila pun harus bersuara, pelankanlah intonasinya. Jangan terlalu banyak mencerca keluarga yang sedang sedih dengan berbagai pertanyaan keingintahuan, karena ini berita duka.

Umur, jodoh, rezeki, itu adalah rahasia Allah SWT. Meskipun kita telah berencana tapi tetap Allah-lah yang menentukannya. Semoga kita semua dapat mengambil hikmah dari peristiwa ini. Semoga almarhum Pipit dan almarhum anaknya diterima di sisi Allah SWT dan keluarga yang ditinggalkan diberikan kesabaran dan ketabahan, amin ya robbal’alamin. Selamat tinggal teman, selamat jalan….

Ilustrasi dari Google


-Dedicated for my friend, almarhum Pipit gendut, rest in peace…-

210312

4 komentar:

NF mengatakan...

Innalillahi wa'inna ilaihi rajiun.. semoga si bayi menjadi pemudah jalan kedua orang tuanya di akhirat kelak.. Aamiin..

Irda Handayani mengatakan...

@NF : amin ya robbal'alamin....
makasih atas doanya mb :)

Dini Haiti Zulfany mengatakan...

Innalillahi wa inna ilaihi raji'uun

:( Sedih bacanya. Jadi teringat teman saya yang anaknya meninggal dalam kandungan. Tapi bener kata Mbak Nufadilah, Insya Allah anak yg meninggal akan jadi 'investasi' di akhirat kelak, pemberi syafa'at untuk kedua orang tuanya :)

Semoga Mbak Pipit dan bayinya (Allahuyarham) mendapat tempat terbaik di sisi Allah SWT..

Irda Handayani mengatakan...

@diniehz : amin ya robbal'alamin...
terima kasih sudah mendo'a-kan :)

Posting Komentar

ShareThis