25 Juni 2012

Ambigunitas Siapa Benar Siapa Salah Dalam Hubungan Orang Tua dan Anak


Sebuah opini kembali saya tuliskan terkait dengan hal-hal apa saja yang saya lihat, perhatikan dan mengganggu benak saya. Pagi ini, seperti biasa, nenek menonton acara ceramah agama di televisi yang dibawakan oleh seorang ustadzah. Meskipun saya tidak begitu mengikuti secara seksama, tetapi saya masih bisa mendengarkan apa yang disampaikan oleh ustadzah tersebut. Tema hari ini adalah hubungan antara mertua dan menantu.

Seperti sudah menjadi rahasia umum dimana selalu ada yang missing atau crash dari hubungan antara mertua dan menantu, tapi, bukan hal ini yang akan saya utarakan, melainkan adanya kaitan antara tema ini dengan hubungan antara orang tua dan anak. Dan seperti sudah kita ketahui bersama, selalu ada konflik yang terjadi antara orang tua dan anak, meskipun pada dasarnya semua ikatan atau hubungan itu selalu memiliki komponen ini, yaitu konflik.

Saya sebagai seorang anak, mungkin tidak pantas memberikan kritikan kepada para orang tua, karena saya sadar kalau saya dibesarkan oleh orang tua dan suatu saat pun saya akan menjadi orang tua. Pengabdian seorang anak kepada orang tuanya dianggap sebagai balas jasa atas kasih sayang dan cinta mereka yang bahkan tidak bisa dihitung dengan apa pun.

Hingga terkadang, masih banyak orang tua yang menganggap apa yang disampaikannya harus dilaksanakan oleh anaknya, tidak peduli bagaimana perasaan si anak. Hukum seperti ini masih berlaku dalam kehidupan keluarga di masa modern, dimana doktrin bahwa orang tua selalu benar itu harus selalu dijunjung tinggi. Bila ditilik dari sisi agama, memang benar, bahwa anak tidak akan pernah bisa membalas jasa orang tuanya, bahwa marahnya orang tua adalah marahnya Allah, tetapi anak juga manusia yang memiliki keinginannya sendiri.

Ada rasa ambigu ketika siapa dan salah siapa benar selalu diungkit dalam hubungan orang tua dan anak. Apakah seorang anak tidak boleh memiliki keinginan sendiri dalam hidupnya? Bila ternyata keinginan atau tindakannya itu dianggap sebagai tindakan anak durhaka karena tidak sesuai dengan keinginan orang tuanya. Demokrasi seharusnya juga berlaku dalam keluarga, karena tidak selamanya anak  bersalah, anak hanyalah seorang manusia, sama seperti orang tuanya, yang juga memiliki keinginan.

Doktrin dua pasal, yaitu pasal pertama, orang tua selalu benar, dan pasal kedua, jika orang tua salah maka kembali ke pasal pertama. Doktrin singkat yang membelenggu kebebasan anak untuk berkespresi, pada akhirnya akan menjadi lingkaran setan yang menyesatkan, karena doktrin itu akan diteruskan kembali ke generasi berikutnya. Namun, bila ada anak yang berani mengutarakan niatnya untuk menentukan seperti apa hidupnya dan memutuskan rantai lingkaran doktrin tersebut, maka jatuhlah vonis anak durhaka kepadanya.

Tidak semua orang tua mengerti dan memahami seperti apa karakter dan pribadi anaknya sendiri, sebaliknya juga, tidak semua anak mau mengerti dan memahami bagaimana pola pendidikan yang diterapkan orang tua kepadanya. Semakin akan dikekang dengan doktrin, maka semakin memberontaklah jiwa anak tersebut. Bukan pula berarti bahwa orang tua harus memberikan kebebasan penuh kepada anaknya, tetapi berikanlah kebebasan yang bertanggung jawab, layaknya sebuah hubungan percintaan, dimana kepercayaan adalah faktor penentu berhasil atau tidaknya hubungan tersebut.

Tidak ada yang salah dan tidak ada yang benar, selama kita semua mau membuka mata dan hati. Ada orang tua yang harus dikasihi, dihormati, dan dihargai, tapi bukan untuk selalu dituruti. Ada anak yang juga haus kasih sayang dan cinta yang harus dipeluk dengan penuh penghargaan, tapi bukan untuk di pojokkan dengan berbagai kesalahan.

Jika keterbukaan, demokrasi, penghapusan doktrin, dan sikap empati benar-benar diterapkan dalam kehidupan, maka tidak akan ada yang menuding dengan vonis “Kamu (anak) salah dan saya (orang tua) benar!”. Kembali kepada masing-masing pribadi, akan bagaimana Anda menyikapi hal ini. Asam garam kehidupan memang telah ditelan oleh para orang tua lebih dulu daripada anak-anaknya, tetapi itu bukanlah parameter mutlak bahwa apa yang dilakukan seorang anak untuk kehidupannya merupakan sebuah kesalahan, alih-alih menjadi vonis durhaka.

Apa yang saya sampaikan ini semoga bisa menjadi celah kecil untuk menggerakkan hati kita masing-masing, untuk memperbaiki kualitas hubungan baik kepada orang tua, kepada saudara, maupun kepada orang lainnya.

Selamat beraktifitas di Senin pagi ini J



250612

2 komentar:

Endah SL mengatakan...

haha kok itu doktrin pasalnya sama seperti aku pas ikut estrakulikuler PMR ya haha
pasal satu senior tak pernah salah.!
pasal dua kalo senior salah lihat pasal satu -_-

puji syukur ortu aku gak kaya gitu hehe beliau mau menerima saran atau kritikan dari anak-anaknya :)

Irda Handayani mengatakan...

@ninuk : iya, pasal yang sengaja diplesetkan, hehehe...
alhamdulillah kalau begitu, baguslah, ada demokrasi dalam kehidupan keluarga Ninuk :)

Posting Komentar

ShareThis