2 Oktober 2011

Emosi

Saudaraku, kita hidup di dunia ini bukan untuk saling mencaci maki, bukan untuk saling membenci, bukan untuk saling memukul, bukan untuk saling menyakiti.

Sering kali terlihat, emosi dapat mengalahkan harga diri, dapat membuat orang lain lupa siapa jati dirinya sebenarnya, membuatnya benar-benar menjadi setan atau iblis dari neraka, membuat seluruh bagian dari tubuhnya tidak terkontrol dengan baik dan akan berbuat hal-hal di luar kebiasannya, menyakiti dirinya sendiri dan orang lain.

Kata caci maki dan sumpah serapah semakin sering terlantun, tanpa pandang bulu, apakah itu dari suami kepada istri atau dari istri kepada suami, apakah itu dari orang tua kepada anak atau dari anak kepada orang tua, apakah itu dari pejabat tinggi kepada rakyatnya atau dari rakyatnya kepada para pejabatnya, dan…. Apakah itu juga datangnya dari para manusia kepada Tuhannya, tetapi Tuhannya tidak akan melakukan hal yang sama seperti apa yang dilakukan oleh para penyembah-Nya.

Saudara/i-ku, sudah habiskah kalimat atau kata yang baik dan enak di dengar ketika di ucapkan saat marah melanda? Sudah habiskah stok kesabaran yang kalian punya? Sudah tidak penting lagikah menjaga mulut dari kata-kata kotor dan sumpah serapah? Semua itu memang bermula dari satu kata, “emosi”. Siapa yang tidak bisa mengontrol emosinya sendiri maka bisa di pastikan setanlah yang akan mengambil alih perbuatannya.

Saudara/i-ku, seorang suami yang sedang marah dan dilanda amarah, sebaiknya segera mengendalikan dirinya sebelum dia menyakiti orang yang disayangi, sebelum dia menyesal di kemudian hari, sebelum semuanya menjadi terlambat dan hanya bisa ditangisi. Seorang suami yang baik dan dewasa, akan menjaga prilakunya dan menghindari dari pengucapan kalimat yang menyakitkan dan dari perbuatan yang meninggalkan bekas dan trauma.

Begitu juga sikap seorang istri, apabila marah redamlah dan tutuplah dulu mulut agar dia tidak mengeluarkan kalimat sakti yang menyayat hati. Memang benar, kekuatan wanita terletak di mulutnya, terletak di lidahnya, senjatanya adalah apa yang dikeluarkan dari mulutnya, apa yang dia ucapkan, karena seperti kata pepatah bahwa lidah itu lebih tajam dari sebuah pedang. Maka, jangan pancing suamimu untuk menyakitimu hanya karena apa yang dirimu ucapkan. Saudariku, jika dirimu sedang dilanda amarah yang teramat sangat, sabarkan dirimu dan redamlah kata-kata yang akan melukai dirimu dan orang lain.

Saudara/i-ku, anak selalu mempelajari apa saja yang dilakukan oleh orang tuanya. Hal ini sudah sering diutarakan, sudah sering diperbincangankan, sudah sering diingatkan, namun masih saja para orang tua kecolongan, kemalingan dan kecurian dalam hal mengasuh anaknya. Alangkah lebih baiknya bila kita saling mengingatkan satu sama lain apabila salah satu dari orang tua ada yang alpa dan mengucapkan kalimat yang tidak pantas dan menyakti anak kita.

Ingat, Ayah, Bunda, buah tidak jauh jatuh dari pohonnya. Maka jangan heran bilamana pada suatu hari si anak juga akan mengikuti kalimat yang pernah dilontarkan oleh orang tuanya kepada anaknya. Hal ini  bukan menitik beratkan kesalahan pada orang tua, namun lebih kepada mengingatkan, saling mengingatkan karena kita, para orang dewasa sering sekali alpa dan lupa, namun anak-anak lah yang selalu mengingatnya. Maka, kealpaan dan kelupaan ini akan berdampak kepada ingatan anak yang selalu merekam semua kejadian menyenangkan maupun menyakitkan.

Saudaraku, yang masih berstatus sebagai anak, meskipun dirimu telah memiliki anak pula, namun engkau masih menyandang status sebagai seorang anak, anak dari orang tuamu. Jika pada suatu waktu dirimu mendapat perlakuan yang tidak menyenangkan, sudah seharusnya dirimu membalasnya dengan cara yang lebih perhatian, dengan cara yang lebih menghormati, dengan cara yang lebih menyayangi. Bila orang tuamu pernah memukulmu, maka balasnya mereka dengan belaian penuh kasih. Bila orang tuamu pernah mengatakan kalimat yang menyakitimu, maka balaslah dengan kalimat “Aku sayang Ayah” atau “Aku sayang Bunda”. Bila orang tuamu pernah menelantarkanmu, maka balaslah dengan menemaninya dan mengurusnya hingga ajal tiba.

Semua permainan emosi sesaat yang merusak jiwa itu dapat segera dipadamkan hanya dengan sebuah ungkapan rasa kasih dan sayang. Meskipun ada seseorang yang mengatakan bahwa dia sudah tidak memiliki rasa sayang itu lagi, maka jangan dipercaya, sebab dia pasti pembohong ulung. Setiap makhluk di beri anugerah terindah dari Allah SWT, salah satunya yaitu kasih sayang dan cinta. Meskipun mulutnya berdusta, namun dalam lubuk hatinya tidak. Meskipun yang terlontar hanya kalimat dan tindakan yang menyakitkan, namun jauh di dalam lubuk hatinya dia juga terluka, menderita dan sangat menyesal.

Beri kesampatan pada orang lain untuk merubah agar dirinya dapat menjadi lebih baik lagi. Bila perlu, support dia dengan segala ilmu yang dirimu punya. Bila dia berhasil mendamaikan diri dengan emosi sesaatnya, maka dirimu juga telah berhasil lulus dalam ujian tingkat emosi dan pengendalian diri. Ingatlah, emosi dapat menempatkan kita dalam tubuh yang dipenuhi oleh pikiran setan atau menempatkan kita dalam tubuh yang sabar dan tenang. Tinggal di pilih, apakah mau menyesal di depan atau menyesal di kemudian. The decision in your mind.


021011

0 komentar:

Posting Komentar

ShareThis