13 Desember 2011

Belajarlah Agar Tidak Mendustai Kebenaran

Ada sebuah cerita, dimana seorang ibu meminjam cincin kesayangan anaknya. Tanpa ragu, si anak pun memberikannya dan meminjamkannya kepada ibundanya. Cincin itu segera dipakai si ibu dan melingkar indah di jari manisnya. Selang beberapa hari, cincin itu tak tampak lagi di jari si ibu, maka si anak pun bertanya.
“Ibu, kemanakah cincin yang aku pinjamkan kemarin?”
“Oh iya, ibu lupa dimana menyimpannya. Nanti ibu cari dulu ya”
Hanya jawaban simple itu yang keluar dari mulut ibunda, namun si anak tidak mempermasalahkannya dan mempercayai apa kata ibunya.
Si anak- menunggu sampai beberapa minggu namun tak kunjung di berikan juga oleh si ibu. Si anak bertanya kembali.
“Ibu, dimanakah cincinku? Kalau ibunda lupa, beritahu kepadaku di mana tempat biasa ibunda menyimpan perhiasan, nanti aku cari sendiri”
“Hhhhmmm… dimana ya? Ibu juga lupa…. Mungkin sudah ibu buang…”
Si anak merasa tersinggung dengan jawaban ibundanya. Cincin itu adalah benda berharga bagi si anak, penuh dengan kenangan dan berharga sangat mahal. Kenapa sampai hati ibunya berkata demikian. Si anak masih berusaha membujuk ibunya agar memberitahukan apa yang sebenarnya terjadi. Namun ibunya terus berkelit dengan jawaban “tidak tahu” atau “lupa” atau bahkan “sudah ibu buang”
Menangislah si anak, dengan penuh rasa kecewa akan tindakan ibundanya.

Apa yang Anda lihat dari peristiwa di atas?
Seorang ibu atau orang tua memang memiliki hal mutlak atas anaknya, namun bukan berarti mereka dapat sesuka hati memperlakukan anaknya seperti cerita di atas. Si anak merasa kecewa dengan tindakan ibundanya, bukan karena harga cincin itu yang sangat mahal namun kekecewaan akan kebohongan atau tindakan menutupi kebenaran yang dilakukan ibunya, khususnya perlakuan kepada benda kesayangan dan penuh kenangannya itu.

Sebagai orang tua yang seharusnya membimbing dan memberikan contoh yang baik kepada anaknya, tidak seharusnya melakukan hal seperti di atas. Anak adalah manusia juga, sama seperti orang tua. Memiliki perasaan, keinginan, kenangan, pendirian, tanggungjawab, dan tentu saja hak. Meskipun seseorang itu telah berlabel sebagai orang tua, namun dia tetap tidak berhak membuang atau menyembunyikan barang-barang pribadi milik anaknya.

Meskipun pola pikir orang tua sekarang telah berubah seiring dengan sisi modernisasi parenting, namun tetap masih banyak para orang tua yang tidak paham bagaimana cara mendidik anak yang baik. Bukan mencetak seorang yang menyerupai dirinya atau mencetak seseorang yang sesuai dengan keinginannya, namun mencetak seorang pribadi yang lebih baik dan mampu menjadi cerminan tingkah laku orang tuanya.

Ingat, setiap anak adalah anugerah yang harus diperlakukan selayaknya manusia, selayaknya diri si orang tua juga. Bila orang tua memperlakukan dan mendidiknya dengan penuh kasih sayang yang tegas, maka akan seperti itulah anaknya kelak. Bila orang tua memperlakukan dan mendidik selayaknya membentuk seorang “tentara bayaran” maka akan seperti itulah karakternya kelak yang berkemungkinan akan menjadi sebuah bumerang.

Sudah selayaknya, para orang tua belajar dari cerita di atas. Sebuah cerita sederhana yang terkesan tidak penting, namun efeknya akan sangat luar biasa bila si anak terus menerus mendapat perlakuan seperti itu. Masih banyak contoh sederhana dan contoh kecil lainnya sebagai bahan perenungan dan pengintropeksian diri dari orang tua kepada anak dan sebaliknya juga, dari anak kepada orang tua.

Meskipun pada intinya semua tetap berpulang kepada masalah komunikasi, tapi kita tetap harus selalu belajar dan memperbaiki diri. Baik untuk anak maupun untuk orang tua, semuanya harus saling bahu-membahu membantu belajar memperbaiki diri dan menjadi pribadi yang lebih baik lagi.

Selamat beristirahat siang dan mengintropeksi diri J


131211

0 komentar:

Posting Komentar

ShareThis