10 Januari 2012

Jabatan dan Kekuasaan Duniawi yang Tidak Akan Pernah Dibawa Mati


Hari ini, terjadi kemacetan luar biasa di jalan kota yang menuju ke rumah saya. Dari ujung lampu lalu lintas di simpang empat jalan utama hingga mencapai hampir simpang empat berikutnya yang akan menghabiskan jalan utama tersebut. Kemacetan seperti ini biasa terjadi di jalan ini namun tidak pernah separah ini kecuali ada kegiatan keramaian yang mengambil alih sebagian jalan atau ketika malam Minggu tiba.

Kali ini, kemacetan di sebabkan oleh adanya acara duka yaitu kematian Ibunda seorang pejabat pemerintah, hal itu terlihat dari banyaknya pajangan karangan bunga yang berderet di sepanjang jalan dan membeberkan perihal berita duka cita tersebut.

Pak polisi pun tidak ketinggalan bersibuk ria, bahkan bukan hanya polisi yang hadir meramaikan dan mengamankan jalanan, ada polisi lalu lintas dan orang-orang yang mengenakan seragam loreng bercorak biru kehitaman plus dengan topi baret berwarna kuningnya menghiasi berbagai wajah ala preman mereka. Mobil patroli polisi terparkir di sepanjang jalan, sepeda motor dari para polisi lalu lintas juga berderet rapi serta kendaraan lainnya yang dikendarai oleh orang-orang seram berseragam loreng biru itu.

Jalanan semakin macet dengan tumpah ruahnya kendaraan tepat ketika jam istirahat siang, mobil dan sepeda motor pribadi, angkot, mobil barang, becak bahkan beberapa bus berukuran kecil juga tampak memadati jalanan siang itu. Sungguh sebuah berita duka cita yang mendalam sehingga mampu untuk membuat kemacetan dan menurunkan berbagai petugas keamanan negara.

Sesungguhnya, saya ingin menilik hal yang lebih manusiawi lagi dibandingkan dengan kemacetan yang luar biasa itu. Dimana, ada hal-hal penting yang sering dibicarakan oleh orang-orang ketika ada yang meninggal. Mungkin saya memang tidak layak membiacarakan beliau (orang-orang yang telah meninggal) dan seperti telah melemparkan kritikan tajam dan pedas kepada para almarhum/ah yang telah memasuki alam yang berbeda.

Namun, hal yang ingin saya tampilkan di sini adalah, dimana tabungan amal kebaikan seseorang ketika hidup akan mulai terlihat saat kematian telah menyapanya. Dari berbagai mitos yang berkembang, dikatakan bahwa, bila banyak orang yang melakukan bela sungkawa, turut membacakan doa, ikut menyolatkannya, dan ikut serta mengantarnya ke liang kubur, maka ada kemungkinan bahwa orang tersebut memiliki kebaikan yang sangat indah, sehingga orang-orang pun berbondong-bondong untuk memberikan penghormatan terakhir. Dan, begitu juga sebaliknya.

Begitu dangkalnya mitos itu terlihat saat ini, karena dengan mudahnya mitos yang telah berabad-abad dipercayai itu akan segera luntur ketika “jabatan” telah berbicara dan menunjukkan kekuasaannya. Mengapa harus kekuasaan yang menjadi kambing hitamnya? Ya, karena kekuasan akan dapat membeli apapun yang dihargai dengan uang, karena kekuasaan dapat mendatangkan apa saja yang diinginkan, karena kekuasaan dunia bisa dijungkirbalikkan, tapi kekuasaan dan jabatan tidak akan pernah berlaku setelah kematian datang.

Jabatan dapat membuat orang lain merasa canggung atau malu untuk tidak datang ke acara duka cita karena kematian seseorang. Kekuasaan dapat membuat orang lain berduyun-duyun mendatangi rumah yang sedang berduka cita walau hanya sekedar ingin menunjukkan sedikit perasaan sedih. Tapi, kedua hal itu tidak akan berlaku ketika tubuh yang kaku telah memasuki lubang berukuran 2 x 1 meter. Miris terasa ketika kekuasaan duniawi masih mengantarkan tubuh kaku ke dalam peristirahatannya yang terakhir.

Banyakkah orang yang secara ikhlas menyolatinya? Alhamdulillah, hanya Allah dan para malaikat-Nya lah yang tahu rahasia hal itu. Tabungan amal ibadah seseorang tidak bisa dinilai hanya dengan berapa banyak yang datang, berapa banyak yang mengucapkan bela sungkawa, berapa banyak karangan bunga yang berjejer, berapa banyak yang mengantarkan ke liang kubur, tapi berapa banyak orang yang ikhlas memaafkan kesalahan beliau, berapa banyak orang yang merasa ikhlas mendoakan dan menyolatinya.

Bukan karena faktor beliau anak si Fulan, bukan karena beliau pernah penjabat sebagai apa, bukan karena beliau pernah meraih penghargaan apa, bukan karena beliau membuka usaha yang suksesnya seperti apa, bukan karena semua faktor keduaniwian tersebut, tapi karena hati dan perbuatannya yang memberikan sumbangan kepada orang lain yang membutuhkan, dan masih banyak hal baik lainnya yang pernah dilakukan beliau semasa hidup.

Ah, zaman sekarang adalah zaman dimana dunia telah menenggelamkan akhirat. Dimana materi telah mengambil alih sebagian besar sisi kehidupan. Dimana kemunafikan semakin merejalela. Sungguh mengerikan bila kita sendiri tidak pintar membuat strategi untuk menarik diri ketika telah menjurus kepada hal-hal yang berbau duniawi.

Selalu saya kembalikan kepada Anda semua, dimana letak keputusan sikap dan prilaku Anda sendirilah yang menentukan. Hal ini hanyalah sebagai refleksi singkat tentang apa sebenarnya makna suci berbela sungkawa atau berduka cita kepada orang-orang yang kita sayangi atau orang-orang yang kita kenal dengan baik. Bahwa, selalu ada makna dan hikmah yang dalam dari setiap segi peristiwa yang ada di diri manusia. Tabungan amal baik adalah sebaik-baik tabungan untuk hari akhir kelak, tabungan suci yang mampu menyelamatkan kita dari jilatan api neraka yang sangat mengerikan.

Saya sendiripun seperti tidak layak berada di surga-Nya, meskipun saya juga takut untuk berada di neraka-Nya. Ya Allah, hamba memohon pengampunan-Mu atas kelancangan hamba tentang hal ini.


091012

2 komentar:

Nurmayanti Zain mengatakan...

Saya sendiripun seperti tidak layak berada di surga-Nya, meskipun saya juga takut untuk berada di neraka-Nya.
jangan pesimis, mbak irda.. tetap ibadah :) semangat!

Irda Handayani mengatakan...

Iya mb Maya, Insya Allah tetap semangat mengejar ridho-Nya. Terima kasih sudah mampir lagi :)

Posting Komentar

ShareThis