Beberapa bulan lalu, saya pernah membuat status di jejaring sosial dengan bunyi seperti ini “
“Teruntuk para org dewasa yg sayang pd anak2, calon ortu, dan terkhusus pd ortu. "Panggillah nama anak anda dgn sebutan yg baik dan membanggakan, jangan memanggilnya dgn nama yg tak pantas dan dgn suara yg sgt keras seolah-olah dia tuli. Cara memanggil dan nama panggilan kpd org yg dikasihi akan sgt berpengaruh kpd budi pekertinya". Sy mmg blm mjd ortu, tetapi apa salahnya kita saling mengingatkan kan?”
Banyak yang memberikan komentar, terutama teman-teman yang telah menikah dan mempunyai anak. Bukannya saya ingin sok pintar dan mengajari para teman yang sudah lebih dulu berpengalaman dalam dunia rumah tangga, tapi saya sebagai seorang anak dan sebagai calon ibu, sangat prihatin dengan cara mendidik orang tua zaman sekarang.
Tulisan ini bukan pula ingin menghakimi para orang tua, khususnya para ibu, tapi lebih kepada sebagai himbauan dan rangkaian kalimat untuk saling mengingatkan, antar wanita, antar orang tua dan anak, antar calon ibu, antar saudara, antar keluarga, antar manusia.
Orang tua di zaman dahulu, terkenal galak dengan berbagai aturan dan kedisiplinan yang tinggi. Anak-anak yang mereka didik selalu patuh dan menuruti apa yang diajarkan oleh orang tua mereka, karena mereka tahu bahwa orang tua mereka lebih berpengalaman dan lebih tahu akan hal apapun di dunia ini, terlebih mereka harus berbakti penuh pada orang tua.
Orang tua pun tidak semena-mena memperlakukan anak-anaknya dengan kejam, ya meskipun mereka pasti melakukan beberapa pukulan pelajaran sebagai bentuk hukuman. Namun semua itu lebih kepada bentuk kasih sayang mereka. Bahkan, meskipun anaknya melakukan kesalahan, tidak semerta-merta mereka memanggil anak-anak mereka dengan sebutan yang tidak pantas. Mereka akan memanggil anak-anaknya dengan suara dan sikap yang tegas, sehingga menciptakan anak-anak yang harus menghormati mereka sebagai orang tuanya.
Sungguh berbeda dengan orang tua zaman sekarang. Memang orang tua sekarang juga mengadopsi bagaimana cara mendidik anak dari orang tua mereka dahulu. Namun, seiring perkembangan zaman era modern sekarang ini, perilaku para orang tua mulai melenceng dari kedisplinan dan ketegasan orang tua yang sebenarnya.
Sikap disiplin yang menerapkan beberapa hukuman fisik, mulai merajalela di sana-sini. Pukulan, cubitan, tamparan, sudutan rokok, tendangan, tonjokkan, hampir semua kekerasan fisik pernah dilakukan oleh orang tua zaman sekarang. Mungkin hukuman fisik seperti ini memang telah ada sejak zaman dahulu, sebagai ungkapan pelajaran yang bertujuan mendidik anak agar lebih disiplin. Namun, sekarang ini tingkat kekerasan antara orang tua dan anak semakin meningkat dari tahun ke tahun. Sungguh miris….
Sikap tegas yang juga diterapkan sebagai bentuk pelajaran bahwa anak-anak harus menghormati orang tua mereka, telah berubah menjadi sikap yang mengerikan yang membentuk anak semakin takut kepada orang tuanya. Dengan seenaknya, para orang tua akan memanggil anak mereka dengan suara dan intonasi yang tinggi seolah-olah mereka tuli. Kalau saja para orang tua mengerti, bahwa sebenarnya mereka tidak tuli atau berlagak tuli, tapi lebih kepada malu menyahut dan malas karena mereka berpikiran, pasti akan dimarahin lagi deh.
Panggilan sayang seperti “anakku”, buah hatiku”, “intanku”, “berlianku”, “matahariku” juga sudah mulai menghilang, kata pujian berbentuk panggilan kepada anak-anak tersayang mereka itu telah berganti menjadi panggilan yang tidak menyenangkan, merendahkan, tidak menghargai, bahkan mulai sering terdengar panggilan dalam bentuk cacian dan makian. Astagfirullah….
Semua hal ini saya utarakan karena saya sudah terlalu sering melihat, mendengar dan merasakan hal-hal yang tidak menyenangkan tersebut. Mengapa zaman sekarang sulit sekali menemukan hubungan antara orang tua dan anak yang masih harmonis dan saling menghargai/menghormati? Apakah sulit sekali mendidik anak-anak zaman sekarang? Lantas, dari mana anak-anak itu belajar “melawan” orang tuanya?
Masih banyak pertanyaan yang harus segera dicari solusinya. Berbagai observasi ringan seputar masalah ini menjadikan saya sebagai seorang wanita yang mulai sejak dini mempersiapkan diri sebagai ibu dan orang tua yang baik bagi anaknya. Semakin saya menilik dan mencaritahu apa penyebab dan akibatnya, semakin saya mantap menentukan langkah apa saja yang seharusnya saya terapkan dan langkah apa saja yang harus saya hindarkan dan tidak lakukan.
Kembali saya membuat status baru tentang masalah ini
“Jagalah bagaimana cara Anda berbicara, krn seorang anak kecil dgn mudah akan mengadaptasinya. Seorang anak yg berbicara dgn intonasi tinggi dan kasar, maka lihatlah darimana dia memperolehnya. Sebaliknya, seorang anak yg santun dan sopan, maka lihatlah darimana dia dibimbing.”
Pelajaran berharga seorang anak dimulai dari dunia kandungan. Bagaimana orang tua memperlakukannya (bukan hanya ibunya, tapi termasuk juga ayahnya), apa saja yang dimakan ibunya, apa saja perlakuan orang tuanya, apa saja yang diucapkan orang tuanya (baik lisan maupun tulisan, baik ucapan di mulut maupun di hati), semua tingkah laku orang tuanya akan menurun kepada anaknya. Saya rasa, hampir semua orang tua mengetahui hal ini. Tapi, kenapa ya masih ada orang tua yang kalau marah dengan anaknya akan mengatakan ini “Anak siapa sih kamu??? Koq bandelnya/nakalnya minta ampuuunnnn….!!!” Nah loh, jadi bingung saya, hahahaha….
Rekan-rekan Kompasiana, marilah kita berkaca terlebih dahulu, melihat ke dalam diri dan intropeksi, mengapa bisa seperti itu? Jangan selalu menyalahkan anak atau menyalahkan orang tuanya. Walau bagaimanapun tetap tidak bisa kita pungkiri kalau anak-anak tumbuh dan berkembang, menyerap dan mangadopsi apapun, bertingkah dan bersikap, tentu bukan lain dari lingkungan terdekatnya yaitu lingkungan keluarga.
Juga tidak bisa kita menutup mata, bahwa masih banyak juga orang tua yang memiliki sikap pedoman yang baik dalam mendidik anak-anaknya sehingga menjadi keluarga yang harmonis. Keluarga harmonis bukanlah keluarga yang tidak pernah ada masalah pelik di dalamnya, keluarga yang tidak pernah bertengkar hebat juga bukan berarti bahwa mereka tidak harmonis, keharmonisan itu lebih kepada bagaimana cara mereka mendapatkan dan menerapkan solusi dari berbagai permasalahan yang sedang dihadapi.
Banyak juga terdapat hubungan harmonis antara orang tua dan anak yang bukan berasalah dari keluarga mampu atau berada, tapi berasal dari keluarga yang sederhana. Status sosial, status pendidikan, status pengalaman hidup, memang bukanlah menjadi parameter mutlak dalam membangun sebuah keluarga yang harmonis, yang berjalan selaras dan seimbang. Tetapi lebih kepada bagaimana me-matching-kan berbagai karakter yang berbeda antara orang tua dan anak-anaknya menjadi suatu hubungan harmonis yang disebut sebagai keluarga.
Keluarga terbentuk dari beberapa karakter yang berbeda, tinggal bagaimana mereka, dari masing-masing pribadi itu saling menghargai dan saling menghormati. Lebih banyak belajar untuk memperbaiki diri dan saling membantu, saling peduli, saling bertukar masalah dan solusi, berusaha menjadi teman dan sahabat yang selalu setia merangkul kapanpun mereka butuhkan.
Orang-orang yang mau berpikir dan memperbaiki masa depannya dari mempelajari kesalahan dan pengalaman orang lain adalah termasuk orang yang maju dan berpikiran cerdas untuk menyelamatkan dirinya dari kesalahan yang sama dikerjakan oleh orang lain.
Padang - 150911
Padang - 150911
0 komentar:
Posting Komentar