FSC merupakan singkatan dari Fiksi Surat Cinta, adalah salah satu ajang perlombaan prosa yang telah dilaksanakan oleh Kompasiana sekitar bulan lalu, bertepatan dengan bulan puasa. Naskah di bawah ini adalah naskah jagoan saya sebagai partisipasi dalam ajang itu. Tapi, apa daya, malang tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih. Ajang yang hanya berdurasi 1 hari itu terlewat begitu saja karena kondisi saya yang sedang melakukan perjalanan mudik. Saya tetap ingin para pembaca dapat menikmati naskah ini, karena untuk apa saya simpan terus, toh lebih baik dipublikasikan. Baiklah, selamat membaca dan menikmati suguhan naskah Fiksi Surat Cinta karya saya ^___^
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------Matahari mulai tenggelam menyisakan kilauan sinar emas di ujung dermaga. Air laut mulai beringsut naik dan menutupi pasir yang landai, menerpa seonggok patung berbentuk manusia, patung Malin Kundang.
From Google |
Malin merenggangkan seluruh ototnya yang terasa kaku. Dia melihat ke sekeliling dan memutuskan untuk berjalan pelan mencari sosok kehidupan yang bisa membantunya mempelajari semua hal yang telah dilewatkannya selama dalam masa kutukan ibunda tersayang.
Di sudut pantai, di ujung tebing, seorang gadis manis sedang menangis, bersedih seorang diri. Tak ada niat untuk mengakhiri hidup karena dia lebih takut pada azab Sang Khaliq. Malin mendengar sayup tangisan dan isakan pilu itu. Malin menghampiri dan bertanya kepada si gadis.
“Ada apakah gerangan hai gadis cantik? Mengapa begitu pilu kudengar isakanmu itu?”
Si gadis terkejut dengan kehadiran Malin, namun tak sepatah katapun keluar dari mulutnya, dia hanya diam dan memandang aneh kepada Malin.
“Ah, pasti ada hal yang mengganggu hatimu. Mari, ku temani duduk dalam kesendirian dan bersama kita menikmati suasana hening ini” ucap Malin kembali sambil duduk tidak jauh dari si gadis.
Lama mereka menghabiskan waktu hanya untuk menatap deburan ombak. Lama mereka tak menyeruakan isi pikiran masing-masing. Berhari telah mereka lalui duduk berdua saling menguatkan hati lewat deburan ombak yang memecah karang dan suara berisik malam yang memudarkan isakan demi isakan si gadis.
Hingga suatu malam, si gadis tidak meneteskan air mata lagi, tidak terisak pilu lagi, tidak terdengar sedu sedan yang menyedihkan, tidak bermuram durja, hanya terlihat lebih tenang dan tersungging senyuman mesra di sudut wajahnya.
From Google |
“Pemuda, terima kash telah menemaniku beberapa malam ini. Terima kasih telah mendengar dengan sabar semua isakan yang tak berarti dan tak kau mengerti itu. Terima kasih telah menjagaku dalam keheningan malam dari deburan ombak dan jahatnya kegelapan”
Malin hanya tersenyum senang mendengar ucapan terima kasih dari si gadis.
“Aku menangis sedih karena aku akan dijodohkan oleh orang tuaku, sementara aku tak cinta dan tak punya perasaan apapun padanya. Bagaimana bisa aku membangun rumah tangga dengan seseorang yang tidak aku sayangi…” si gadis membuka percakapan pertamanya dengan Malin.
“Apakah hatimu telah terpaut pada seseorang?”
“Ya…. Tidak banyak yang aku tahu tentang dirinya. Tapi cara sederhananya saat menemaniku di kala sendiri telah membuatku jatuh hati dan ingin bersamanya” jawab si gadis malu-malu.
“Siapakah gerangan bujangan yang beruntung itu hai gadis cantik?” tanya Malin penasaran.
Namun si gadis hanya tersenyum penuh arti, penuh misteri.
“Pemuda, darimanakah dirimu berasal? Aku belum pernah melihat dirimu sebelumnya”
“Aku tidak bisa menceritakan dari mana diriku berasal, karena hal itu mungkin akan membuat dirimu terkejut dan menjauh dariku, tak ingin berteman lagi denganku”
“Mengapa bisa diriku berbuat seperti itu sementara pemuda telah bersikap baik padaku”
“Mari ikut aku” ajak Malin sambil menggenggam tangan si gadis menuju tempat dia dikutuk.
“Disinilah tempat diriku berasal…. Beberapa abad lamanya aku telah dikutuk ibundaku menjadi batu. Namun, entah mengapa, beberapa purnama ini aku bisa terbebas dari kutukan itu. Terbangun dari tidurku yang panjang dan akhirnya bertemu dengan gadis cantik melalui isakan sedihmu itu”
Si gadis hanya terdiam, mematung dan tidak bergerak mendengar penjelasan Malin di tengah suara deburan ombak yang memecah keheningan malam.
Malin, beberapa malam purnama semenjak hari itu kita mulai lebih dekat. Kita bercerita dengan leluasa, sebebas-bebasnya bercerita. Hatiku mulai terpaut padamu, sangat terpaut dan terikat padamu. Namun, kita tidak sadar bahwa purnama akan segera berakhir berganti menjadi sabit, dan…dirimu akan kembali ke dalam pelukan kutukan patung yang membelenggumu.
Aku sedih ditinggalkan olehmu Malin…. Aku belum sempat mengucapkan kata perpisahan, bahkan aku belum mengucapkan kalimat cintaku padamu….
Purnama terakhir telah merenggutmu dariku. Telah mengubahmu menjadi serpihan patung lagi. Telah menelanmu menjadi bongkahan wujud yang hanya bisa diterpa debur ombak yang mengalir. Aku tidak bisa memelukmu lagi, aku tidak bisa menggandeng tanganmu lagi, aku tidak bisa menatap wajah dan senyuman manismu lagi, aku tidak bisa membelai lembut rambutmu, aku tidak bisa lagi Malin….
Malin… andai pada malam terakhir itu aku mengatakan perasaanku padamu, andai aku bisa mengajakmu bertemu orang tuaku, andai aku bisa mengenalkanmu pada semua temanku, andai aku bisa menunjukkan betapa aku bahagia didampingi oleh dirimu…
Malin… surat ini aku buat sebagai rasa cintaku padamu. Aku ingin mengabarkan pada dunia bahwa aku mencintaimu Malin, aku menyayangimu….
Kisah kita terajut dalam untaian kata yang aku rangkai menjadi sajak terindah yang mampu untuk mengalahkan para pujangga ulung di manapun jua. Kisah kita menjadi ratapan kerinduanku yang mulai terisak kembali di sudut tebing. Kisah kita menjadi buliran air mata yang kuisakkan lagi di malam-malam kesendirianku.
Malin…. Aku mencintaimu…. Aku yakin dirimu juga mencintaiku…. Aku akan selalu menunggumu di tebing ini, di tempat dimana kita berjumpa, di tempat dimana kita merajut kasih, di tempat dimana hanya ada kita berdua ditemani deburan ombak.
Aku mencintaimu Malin…
0 komentar:
Posting Komentar