9 Juni 2011

Pola Pikir Aneh Seorang Dokter Homeopathy

From Google
Hari ini saya mengantar seorang besan untuk berobat ke seorang dokter Homeopathy. Bunda, begitu saya menyebutnya, sudah berumur 62 tahun dan memiliki keluhan di perutnya. Selama ini Bunda hanya mengandalkan pengobatan alternatif, sehingga beliau ingin mencoba usaha yang lain untuk mengobatai penyakitnya.

Dokter itu tidak banyak bicara, hanya sering bertanya tentang keluhan apa saja dari pasiennya. Bunda mengatakan bahwa ada semacam bagian yang keras di perutnya, letaknya sering berpindah-pindah, kadang-kadang nyeri dan sering membuat mual. Dokter mencatat semua keluhan Bunda.
Dokter memeriksa tekanan darah Bunda dan mencatat berapa tekanan darah Bunda yang ternyata normal. Bunda penasaran karena si dokter tidak menerangkan apapun, jadi Bunda bertanya.

“Saya belum pernah memeriksakannya ke dokter manapun Dok, saya hanya menjalani pengobatan alternatif selama ini dan memang alhamdulillah ada perkembangannya jadi, saya ingin mengetahui, ada apa di perut saya dan sakit apa saya?” Bunda bertanya seperti itu karena dokter Homeopathy itu tidak memeriksa tubuhnya sama sekali, kecuali hanya memeriksa tekanan darahnya saja.

“Ibu mau tau sakit apa?” tanya si dokter Homeopathy.
“Ibu sakit… kekurangan uang!” jawabnya sambil tersenyum yang dalam sekejap membuat Bunda terwawa terbahak-bahak karena jawaban aneh tersebut, saya sendiri tidak menyangka kalau dokter itu akan menjawabnya dengan lelucon yang membuat kami tertawa.

“Tidak ada yang perlu dikhawatirkan, itu hanya angin yang telah lama berada di perut ibu, jadi saya akan memberikan obatnya”
Kemudian dokter mengeluarkan sebuah tempat obat yang berisi bubuk laktosa kemudian memasukkannya ke dalam sebuah alat yang mirip dengan alat-alat di studio radio. Saya tidak tahu nama alatnya, yang saya tahu alat itu memberikan gelombang elektromagnetik ke dalam laktosa.

Seperti yang telah diketahui, bahwa laktosa merupakan salah satu media yang dipilih oleh dokter Homeopathy untuk memberikan obatnya. Dokter membuka catatan yang berisi nama-nama tumbuhan yang dilengkapi dengan angka-angka, sekali lagi, karena saya tidak berani mencampuri tugas seorang dokter, maka saya hanya bisa berasumsi sendiri bahwa angka-angka tersebut merupakan angka yang menunjukkan nomor frekuensi dari setiap tumbuhan tersebut.

From Google
Rasanya aneh melihat tingkah seorang dokter yang di saat proses mendiagnosa dan akan memberikan resep obat, malah terlihat membuka buku catatan. Selama ini, saya belum pernah melihat seorang dokter melakukannya. Bahkan si dokter Homeopathy tersebut tidak merasa canggung dan malu melakukannya. Saya berpikiran bahwa, lebih baik melihat catatan untuk lebih memastikan suatu hal daripada hanya mencoba mengandalkan ingatan yang memang overload untuk mengingat setiap detail kejadian selama hidup. Sebuah sikap yang belum pernah saya lihat dari semua dokter yang pernah saya kunjungi.

Rasa penasaran Bunda mulai terusik lagi dan kembali menanyakan hal yang sama kepada dokter, “Saya sakit apa ya Dok?”
Dokter itu diam dan tidak bergeming, hingga akhirnya Bunda mengulang pertanyaannya tadi.
“Kalau saya tanya, untuk apa ibu mengetahui penyakit ibu?”
“Saya harus tahu Dok, saya sakit apa. Lagipula bagaimana caranya Dokter mengobati saya jika Dokter sendiri tidak mengetahui penyakit saya” jawab Bunda mulai tidak sabar.

Dokter itu menjelaskan bahwa pengobatan medis alternatif Homeopathy ini bersifat perduli terhadap mental, emosi dan pikiran pasiennya. Jadi, para dokter Homeopathy lebih cenderung tidak memberitahukan apa penyakit para pasiennya, karena menurut mereka hal itu jauh lebih baik untuk menjaga tingkat kestabilan mental, emosi dan pikiran para pasiennya.

Dokter itu bercerita kembali. Dia pernah memiliki seorang pasien yang telah berobat hingga 10 tahun lamanya dan selama itu si pasien terlihat baik-baik saja. Hingga akhirnya si pasien tersebut mengatakan bahwa terdapat benjolan di payudaranya. Dokter Homeopathy itu marah, mengapa si pasien yang selama ini berobat kepadanya tidak mengatakan keluhannya secara jujur.

Dokter menyarankan agar si pasien segera di obati. Dan seperti biasa, demi menjaga kondisi mental dan emosi pasiennya si Dokter tidak memberitahu apa penyakitnya. Rasa penasaran yang tinggi membuat pasien itu beralih berobat ke Penang dan membawa berita duka bahwa dia menderita kanker payudara. Pasien itu tidak menjalani operasi, hanya rangkaian kemoterapi. Hingga akhirnya kabar duka yang lebih hebat datang, dalam kurun waktu 3 bulan, pasien itu meninggal di Penang.

Dari cerita itu, si Dokter mengatakan bahwa memang lebih baik kita tidak mengetahui apa penyakit kita. Bilamana kita mengetahuinya, maka kita tidak bisa mengontrol mental, emosi dan pikiran kita. Ingat, semua penyakit berawal dari pikiran, jika pikiran tidak stabil maka penyakit bisa bertambah parah.

Makna hari ini adalah bahwa tidak semua Dokter malu mengakui bahwa dia juga manusia yang tentu saja bisa melakukan kesalahan dan dia tidak merasa malu untuk membuka kembali catatan demi catatan atau buku-buku literatur tentang dunia medis, tentu dengan tujuan menghindari kesalahan memberikan resep obat sedini mungkin.

Bahwa, ternyata memang benar adanya rasa kepedulian dari seorang dokter kepada pasiennya untuk lebih memikirkan mental, emosi dan pikiran para pasiennya. Berbanding terbalik dengan kondisi yang selama ini diperlihatkan para dokter biasa, dimana setelah mereka melakukan pemeriksaan, maka mereka akan langsung memberikan diagnosa dan bahkan vonis yang mengerikan, apalagi ada beberapa dokter yang dengan enaknya mengatakan prediksi umur pasiennya.

Saya hanyalah seorang pasien, bukanlah seorang praktisi kesehatan yang ahli. Namun sebagai seorang pasien, saya juga berhak memberikan pandangan kepada dokter yang memeriksa saya (kita), karena ini adalah tubuh kita yang tidak bisa divonis seenaknya. Segala masalah berawal dari pikiran, maka kita memang harus menjaga kestabilan mental, emosi dan pikiran kita.

Semoga kita semua dapat mengambil manfaatnya dan membuang kejelekkannya.



Medan - 080611

2 komentar:

Gelasan Tiga Saudara mengatakan...

Betul gan, semua berawal dari pikiran.
Salam

Irda Handayani mengatakan...

@PartaWinata : yup, benar sekali mas
Terima kasih sudah mampir di blog saya ya...

Posting Komentar

ShareThis