10 Juni 2011

Trauma KDRT Yang Merubah Mindset Seseorang


Hari ini saya mendapat cerita seru lagi bersama Bunda. Kami mengobrol tentang banyak hal, dari masalah sosial hingga yang bertema agama, dari masalah anak hingga menantu, dari masalah pernikahan hingga trauma. Nah, topik terakhir ini yang membuat saya ingin membaginya dengan rekan-rekan sekalian.

Bunda memiliki saudara jauh yang bernama Maya (nama samaran) yang belum menikah hingga usianya menginjak 50 tahun. Maya bisa dibilang sangat cantik, bahkan hingga di usia setengah abad itu kecantikan yang dimilikinya masih terlihat. Dia tidak merasa kesepian dan ikhlas dengan keadaannya yang belum berkeluarga itu, disamping kesibukan beraktifitas yang dijalananinya sehari-hari, dia juga mulai lebih aktif mendekatkan diri kepada Tuhan.

Saat ditanya, sering ditanya, mengapa tidak jua menikah, Maya menjawab, masih trauma dengan kejadian 30 tahun yang lalu. Bukan karena trauma disakiti oleh laki-laki, bukan karena trauma di khianati, bukan karena trauma berbuat asusila, dan bukan karena berbagai trauma yang lazim pada umumnya.

Dia trauma karena telah melihat seorang suami istri sedang bertengkar hebat, dimana pasutri tersebut merupakan tetangga yang berlokasi tepat di sebelah rumah keluarga Maya. Pertengkaran hebat itu telah membuat sang suami melakukan tindakan kasar atau KDRT kepada istrinya, mencaci maki, memukul, hingga menyeret sang istri ke luar rumah dan menendangnya.

Tidak ada yang tahu apa sebabnya, namun pertengkaran pasutri itu menjadi tontonan gratis bagi semua warga komplek, tidak ketinggalan dengan Maya yang secara langsung melihat pertengkaran hebat itu. Maya menjerit ngeri melihat adegan kasar yang diperlihatkan sang suami bejat itu.

Ternyata, bayangan dari setiap adegan KDRT yang telah dilihat oleh Maya selalu bertengger di pikirannya, hingga beberapa hari. Maya selalu membahas tentang KDRT itu dan berkata kepada ibunya bahwa dia tidak ingin menikah, takut akan mendapat perlakukan kasar dan menyakitkan seperti itu.

Ibunya menjelaskan bahwa tidak semua laki-laki (wah, seperti sebuah lagu dangdut ya, tidak semua laki-laki…bersalah kepadamu…) memperlakukan istrinya seperti itu. Kalau pun ada suami yang memperlakukan kasar istrinya, mungkin hanya 1 banding 100 orang laki-laki. Jadi jangan takut kalau Maya akan mendapat perlakuan seperti itu.

Paras Maya yang sangat cantik membuat incaran dari banyak laki-laki, baik yang berasal dari daerah di sekitarnya maupun dari berbagai luar kota, namun ternyata semua niat baik pinangan itu di tolak Maya, dia tetap pada pendiriannya bahwa dia tidak ingin menikah. Mungkin, rasa trauma yang sangat hebat itu telah tertanam sangat dalam di benaknya, mindset-nya telah berubah total tentang arti sebuah ikatan suci pernikahan.

Ibu dan Ayahnya resah, adik Maya sudah lebih dulu menikah, namun Maya masih senang sendiri. Saat ditanya dan di desak oleh orang tua dan keluarganya, bahwa laki-laki seperti apa yang dia inginkan untuk menjadi suaminya, maka mereka bersedia mencarikannya untuk Maya. Maya menginginkan seorang suami yang seperti Ayahnya dan ingin menjalani pernikahan sama seperti pernikahan Ayah dan Ibunya selama ini, yang menurutnya terlihat sangat harmonis dan tidak pernah bertengkar.

Bunda menjelaskan kepada Maya, bahwa apa yang terlihat di luar tidak sepenuhnya adem ayem di dalam. Maksudnya, dalam sebuah pernikahan, tidak ada yang namanya suasana tentram terus, pasti ada masalah dan pertengkaran. Orang tua atau pasutri yang mengerti dan paham bagaimana etika berumah tangga, maka mereka akan bertengkar di dalam kamar, dimana hanya mereka berdua yang mengetahui apa permasalahan mereka dan mereka tidak akan memperlihatkannya di depan anak-anak. Itulah sebabnya, orang tua yang bijak akan selalu menjaga kondisi anak-anaknya dengan tidak melakukan pertengkaran sebagi konsumsi anak-anak mereka.

Kalau terus mengharap rumah tangga yang selalu tenang dan adem ayem, siapa yang dapat menjaminnya, tidak ada yang bisa dan merupakan hal yang mustahil. Manusia tidak ada yang sempurna, bahkan Rasul saja pernah mengalami masa-masa kritis dalam rumah tangganya, apalagi kita orang biasa yang terhitung memiliki banyak kekurangan dan dosa. Maya tidak bergeming, tetap teguh pada pendiriannya untuk tidak menikah hingga di usia senja seperti ini.

Hingga terkadang ada beberapa saudara yang mengingatkan Maya bahwa betapa bahagianya menjalani kehidupan berumah tangga. Jika dilihat dari umurnya yang sudah setengah abad itu, mungkin Maya telah memiliki cucu sekarang, dan tidak perlu risau jika dia mengalami masalah kesehatan, akan ada anak-anaknya yang merawatnya. Namun Maya hanya tersenyum dan berkata bahwa aku sudah bahagia dengan kehidupanku sekarang.

Kegiatan sebagai seorang juru rias pengantin dan pengusaha kue kecil-kecilan cukuplah untuk menunjang hidupku sehari-hari. Kalaupun aku sakit dan tidak yang merawat, ya sudahlah, tidak apa-apa. Aku hanya ingin mendekatkan diri kepada Tuhan YME. Aku merasa tenang karena sampai saat ini aku tidak pernah berbuat hal-hal yang memalukan orang tuaku, meskipun sampai saat ini aku belum menikah tapi aku tidak pernah mengganggu laki-laki lain, mengganggu suami orang lain, aku tetap adanya diriku. Begitu Maya menjelaskan.

Hingga akhirnya, orang tua dan keluarga Maya mengalah dan membiarkan Maya menjalani apa yang telah dipilih dan diputuskannya. Pada akhirnya, sebuah trauma bisa menjadi hal yang sangat mengerikan dan merubah mindset/pola pikir seseorang tentang berbagai hal, tak terkecuali hal yang bersifat sakral, sebuah pikiran tentang pernikahan.


Medan - 100611

2 komentar:

Editor mengatakan...

Salam Kompasiana
Ikut gembira karena kompasianer rata-rata adalah blogger aktif. Suka dengan cerita kanker payudara yang dihadapi dengan spirit luar biasa.

Saleum

Irda Handayani mengatakan...

Terima kasih :)
Semoga spirit ini tetap berkibar

Posting Komentar

ShareThis