Ada sebuah cerita, dimana seorang ibu meminjam cincin kesayangan anaknya. Tanpa ragu, si anak pun memberikannya dan meminjamkannya kepada ibundanya. Cincin itu segera dipakai si ibu dan melingkar indah di jari manisnya. Selang beberapa hari, cincin itu tak tampak lagi di jari si ibu, maka si anak pun bertanya.
“Ibu, kemanakah cincin yang aku pinjamkan kemarin?”
“Oh iya, ibu lupa dimana menyimpannya. Nanti ibu cari dulu ya”
Hanya jawaban simple itu yang keluar dari mulut ibunda, namun si anak tidak mempermasalahkannya dan mempercayai apa kata ibunya.
Si anak- menunggu sampai beberapa minggu namun tak kunjung di berikan juga oleh si ibu. Si anak bertanya kembali.
“Ibu, dimanakah cincinku? Kalau ibunda lupa, beritahu kepadaku di mana tempat biasa ibunda menyimpan perhiasan, nanti aku cari sendiri”
“Hhhhmmm… dimana ya? Ibu juga lupa…. Mungkin sudah ibu buang…”
Si anak merasa tersinggung dengan jawaban ibundanya. Cincin itu adalah benda berharga bagi si anak, penuh dengan kenangan dan berharga sangat mahal. Kenapa sampai hati ibunya berkata demikian. Si anak masih berusaha membujuk ibunya agar memberitahukan apa yang sebenarnya terjadi. Namun ibunya terus berkelit dengan jawaban “tidak tahu” atau “lupa” atau bahkan “sudah ibu buang”
Menangislah si anak, dengan penuh rasa kecewa akan tindakan ibundanya.